Menurut laporan surat kabar Zman Yisrael Rabu (3/1/2024), para pejabat Israel dilaporkan mengadakan pembicaraan rahasia dengan Republik Demokratik Kongo dan negara-negara lain mengenai pengusiran warga Palestina yang terlantar akibat perang Israel di Jalur Gaza.
Surat kabar tersebut, yang merupakan outlet berbahasa Ibrani dari Times of Israel, mengatakan kebijakan ‘migrasi’ Gaza dengan cepat menjadi kebijakan utama pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kabinet perang mengenai populasi Gaza.
Netanyahu dilaporkan telah memberikan lampu hijau untuk kebijakan pengusiran tersebut dan anggota kabinet tingkat tinggi juga mengikuti langkah itu, kemudian memulai pembicaraan dengan Kongo sebagai salah satu tujuan yang memungkinkan.
Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang Israel yang tidak pandang bulu dan brutal, yang sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 22.313 orang, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, serta melukai 57.296 orang.
Pada awal perang, Israel memerintahkan penduduk Jalur Gaza utara untuk meninggalkan rumah mereka, dan banyak pejabat Israel membuat pernyataan yang mendukung pengusiran paksa penduduk Gaza. “Kongo akan bersedia menerima migran, dan kami sedang bernegosiasi dengan pihak lain,” kata sumber senior di kabinet perang Israel yang dikutip Times of Israel.
Senin lalu, pada pertemuan Partai Likud, Netanyahu sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, dengan mengatakan: “Masalah kami adalah menemukan negara-negara yang bersedia menerima mereka [warga Gaza], dan kami sedang mengupayakannya.”
Pada hari Selasa, AS mengkritik menteri sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich karena menganjurkan pengusiran warga Palestina dari Gaza. Namun, dukungan dan implementasi Netanyahu, yang mengarah pada perundingan rahasia antara pemerintah Israel dan Republik Demokratik Kongo, tampaknya merupakan eskalasi yang berbahaya dalam implementasi rencana pengusiran yang sering kali dicirikan sebagai pembersihan etnis dan genosida.
Pemerintah Israel menyebut kebijakan tersebut sebagai “migrasi sukarela”, namun kutipan dari para menteri senior kabinet menunjukkan bahwa seluruh kebijakan bergantung pada Israel yang menjadikan Gaza tidak dapat dihuni oleh penduduk sipil, sehingga pada dasarnya memaksa warga Palestina untuk meninggalkan Gaza.
“Pada akhir perang, pemerintahan Hamas akan runtuh, tidak ada otoritas kota, penduduk sipil akan bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan. Tidak akan ada pekerjaan, dan 60% lahan pertanian Gaza akan menjadi zona penyangga keamanan,” kata Menteri Intelijen Gila Gamliel kepada Knesset.
Gamliel, yang diduga merupakan salah satu penulis utama rencana tersebut menurut Zman Yisrael, memberikan kepada kabinet Israel sebuah peta yang menunjukkan Gaza pascaperang, dengan warga sipil Palestina yang tersisa "ditutup dari segala arah", berarti pula Israel memperluas wilayahnya.
Hal ini, menurut pemerintah Israel, memerlukan migrasi penduduk sipil. Gamliel juga mengklaim bahwa tidak ada badan Palestina yang layak untuk mengambil alih kekuasaan di Gaza karena penduduk sipil akan memelihara “kebencian terus-menerus terhadap Israel”. Hal ini akan menyebabkan lebih banyak serangan seperti yang terjadi pada 7 Oktober.
Surat kabar tersebut juga melaporkan bahwa Arab Saudi dibahas oleh kabinet perang sebagai tujuan potensial bagi warga Palestina di Gaza. Para menteri Israel mengutip sejumlah besar pekerja Asia Selatan yang digunakan oleh Riyadh ketika negara tersebut melanjutkan pembangunan konstruksinya.
Apa yang Diinginkan Netanyahu untuk warga Gaza?
Netanyahu mengatakan bahwa Israel harus memikul tanggung jawab militer atas wilayah tersebut, meskipun AS menentang rencana tersebut. Dia telah membuat pernyataan yang berbeda. Pada awal perang, ketika didesak oleh reporter berita ABC tentang masa depan Gaza, dia mengatakan bahwa Israel akan menduduki wilayah tersebut untuk "jangka waktu yang tidak terbatas" dan memikul "tanggung jawab keamanan secara keseluruhan" atas Gaza.
Netanyahu kemudian mengatakan kepada Fox News bahwa Israel tidak “berusaha untuk menaklukkan Gaza, kami tidak berusaha untuk menduduki Gaza dan kami tidak berusaha untuk memerintah Gaza”.
Namun, di hadapan sesama anggota partainya, pemimpin Israel itu melontarkan gagasan untuk mengusir warga Palestina. Menurut sebuah laporan di Haaretz, Netanyahu, dalam pertemuan dengan politisi Likud mengatakan bahwa hambatan utama terhadap pembentukan satuan tugas pemerintah untuk memindahkan warga Palestina adalah menjamin “negara-negara yang bersedia menyerap mereka, dan kami sedang mengupayakannya”.
PBB Marah, Washinton Tidak Setuju
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) marah dengan wacana Israel yang hendak mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza. Kepala hak asasi manusia (HAM) PBB Volker Turk mengatakan dirinya sangat terganggu dengan pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir yang mempromosikan solusi untuk mendorong emigrasi penduduk Gaza.
"Sangat terganggu dengan pernyataan beberapa pejabat tinggi Israel terkait rencana untuk mentransfer warga sipil dari Gaza ke negara ketiga," kata Turk di X, Kamis (4/1) seperti dikutip AFP. Dia menambahkan, "Hukum internasional melarang pemindahan paksa orang-orang yang dilindungi di dalam atau deportasi dari wilayah pendudukan."
Sementara Washington tetap mempertahankan pandangan mereka bahwa jalan perlu dibuat untuk negara Palestina. Biden mengatakan pada awal perang bahwa menduduki Gaza akan menjadi 'kesalahan besar'.
Bahkan sebagai sekutu setia Israel dan pendukung perangnya di Gaza, Amerika menentang gagasan Israel untuk merelokasi warga Palestina dengan bantuan negara-negara Arab, termasuk Mesir. Sumber-sumber di Mesir menyatakan kekhawatirannya bahwa strategi Israel untuk menggusur warga Palestina adalah upaya mendorong penduduk Gaza ke Sinai.
Washington juga menolak gagasan Israel menduduki Gaza secara militer, seperti yang dilakukannya selama 38 tahun sebelum menarik militer dan pemukimnya pada tahun 2005. “Pada akhirnya kendali atas Gaza, administrasi Gaza dan keamanan Gaza harus dialihkan ke tangan Palestina,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan kepada wartawan pada bulan Desember.
AS telah menjauhkan diri dari retorika ekstrem para menteri Israel, namun mereka belum mengkondisikan atau menghentikan bantuan militer kepada Israel di tengah serangan brutal mereka di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 22.000 warga Palestina.
Sumber: inilah