GELORA.CO - Presiden Jokowi mengatakan, menteri bisa berkampanye dalam pemilihan umum (Pemilu).
Selain menteri, Jokowi mengatakan presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi.
Jokowi mengatakan, aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang non politik itu merupakan hak demokrasi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu lantas menjelaskan bahwa presiden dan menteri merupakan pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Oleh karena itu, Jokowi berpandangan bahwa presiden dan menteri boleh berpolitik.
Namun, pernyataan Presiden Jokowi tersebut menjadi sebuah blunder dan mendapatkan beragam kritik.
Pernyataan Menyesatkan
Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa presiden boleh memihak dan melakukan kampanye menyesatkan.
"Statemen presiden boleh memihak dan boleh melakukan kampanye adalah statemen yang menyesatkan," ucap Dedi saat dihubungi, Kamis (25/1/2024).
Dedi menjelaskan, sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara, presiden merupakan penyelenggara pemilihan.
"Kalau presiden sebagai penyelenggara pemilihan lalu memihak maka ini bisa saja merusak kualitas dari proses elektoral itu," kata Dedi.
Dedi menilai, pernyataan Jokowi dapat mempengaruhi institusi yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri, dalam menjalankan tugasnya.
"KPU, Kementerian Dalam Negeri, termasuk juga mitra di parlemen yang memiliki korelasi dengan pemilihan umum, besar kemungkinan mereka akan terpengaruh ketika tahu presiden memihak kemana," tambah Dedi.
Meskipun KPU tidak tunduk secara langsung kepada presiden, lanjut Dedi, sikap presiden akan akan tetap dapat mempengaruhi keberanian penyelenggara pemilu dalam menjalankan kewenangan.
"Karena secara psikologis, meskipun KPU tidak secara langsung tunduk pada presiden dalam penyelenggaraan pemilu, presiden punya andil dalam menentukan komisionernya,” ujar Dedi.
Menurut Dedi, presiden seharusnya bertindak sebagai seorang negarawan di tengah proses pemilu. Dedi menegaskan, mengambil posisi netral saja belum cukup bagi presiden untuk dianggap negararawan.
"Beliau harus berpihak pada negara. Dalam arti, misalnya sekarang banyak anggota kabinet, para menteri, para wakil menteri, yang secara terang-terangan membela salah satu kandidat, presiden tidak bisa diam," terangnya.
Presiden, kata Dedi, seharusnya menegur para anak buahnya itu dengan cara melakukan reshuffle.
Presiden juga harus melarang semua aktivitas yang berkaitan dengan jabatan publik, terutama jabatan elite, ikut campur dalam urusan politik praktis.
Sedangkan, Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti berujar, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang selalu menyatakan bahwa presiden akan netral, akan mendukung ketiga paslon.
“Namun belakangan ini justru atau kemarin menyatakan boleh memihak. Kalau kita lihat sebetulnya ini bertentangan dengan sumpah jabatan untuk presiden dan juga menteri," kata Ikrar.
Masalahnya, lanjut Ikrar, aturan bahwa presiden, menteri, bahkan kepala daerah boleh kampanye memang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Pada saat yang sama, asas umum mengatur bahwa ASN, TNI/Polri, kepala desa, dan anggota Satpol PP tidak boleh berkampanye.
“Mengapa ada dualisme kebijakan, pada tingkatan presiden, wapres, Menteri sampai wakil bupati boleh berkampanye sementara ASN tidak boleh?” tanya dia.
Ikrar juga menyebutkan, sulit dibedakan yang mana aktivitas presiden dan para menteri adalah kunjungan kerja dan yang berkampanye.
“Karena kita tahu bahwa kunjungan presiden dan para Menteri ke beberapa daerah itu tidak sedikit yang melakukan kampanye politik,” tutur Ikrar.
Jokowi Tunjukkan UU Terkait
Presiden Jokowi menjelaskan mengenai pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa Presiden boleh memihak dan berkampanye.
Menurut Jokowi, pernyataannya tersebut untuk menjawab pertanyaan dari Wartawan mengenai apakah boleh menteri berkampanye.
Menjawab pertanyaan tersebut, Jokowi mengatakan bahwa secara aturan Menteri bahkan Presiden diperbolehkan berkampanye.
Dalam video yang diunggah kanal youtube Sekretariat Presiden,
Presiden Jokowi bahkan sampai menunjukan pasal dan undang undang yang tertulis dalam kertas besar. Aturan yang memperbolehkan Presiden berkampanye adalah pasal 299, undang undang nomor 7 tahun 2017.
"Undang-undang nomor 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, jelas," kata Jokowi dalam unggahan di kanal youtube Sekretariat Presiden, Jumat, (26/1/2024).
Oleh karenanya, Presiden meminta pernyataannya tersebut jangan difsirkan lain. Karena ia hanya menyampaikan ketentuan Pemilu yang mana Presiden boleh memihak atau berkampanye sepanjang mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
"Itu yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU pemilu, jangan ditarik kemana-mana. Kemudian juga pasal 281 juga jelas, bahwa kampanye dan pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara," katanya.
"Sudah jelas semua kok, sekali lagi jangan lagi ditarik kemana-mana, jangan diinterpestasikan kemana-mana, saya hanya menyampaikan ketentuan perundang undangan karena ditanya," pungkasnya
Sumber: Tribunnews