Politisi PDIP: Bukan Makar, Aspirasi Pemakzulan Presiden Hal Biasa dalam Demokrasi

Politisi PDIP: Bukan Makar, Aspirasi Pemakzulan Presiden Hal Biasa dalam Demokrasi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebab, pemakzulan atau impeachment presiden diatur dalam pasal 7 B (ayat 1-7) UUD 1945.

"Memang tidak mudah, tapi bukan hal yang mustahil dilakukan karena memang diatur dan tidak melanggar undang-undang," kata anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin dalam keterangannya, Jumat (19/1).

Legislator PDI Perjuangan ini mengungkapkan, ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum memakzulkan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat.

TB Hasanuddin menjelaskan, proses pemakzulan terhadap presiden diawali dengan penggunaan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR RI. Adapun UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sudah mengatur soal penggunaan HMP.

Merujuk Pasal 79 UU MD3, bahwa HMP merupakan hak DPR untuk menyikapi kebijakan pemerintah ataupun kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun mancanegara.

HMP juga untuk menanggapi dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela.

"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," tuturnya.

Dia juga menegaskan, ada syarat lain untuk meloloskan usul penggunaan HMP sebagaimana diatur Pasal 210 ayat (3) UU MD3, yakni diputuskan dalam rapat paripurna yang dihadiri dua pertiga dari seluruh anggota DPR. Selain itu, usul itu harus disetujui minimal dua pertiga dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna.

Baru setelah ada persetujuan dalam rapat paripurna, DPR menindaklanjutinya dengan pembentukan panitia khusus (pansus). Setelah pansus bekerja paling lama 60 hari, hasilnya lantas dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.

"UU MD3 juga mengatur tentang pengambilan keputusan atas laporan hasil pansus dalam rapat paripurna yang harus dihadiri minimal dua pertiga dari jumlah seluruh anggota DPR," tuturnya.

Selanjutnya, hasil kerja pansus bisa dilanjutkan ke proses berikutnya jika disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Jika hasil kerja pansus itu diterima, DPR meneruskannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bila MK menyatakan presiden terbukti melanggar undang-undang, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk mengusulkan pemakzulan kepada MPR.

“Setelah itu MPR melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,” sambung Hasanuddin.

Usul pemberhentian presiden pun baru bisa dibahas oleh MPR melalui sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari seluruh anggotanya.

"Usul pemakzulan bisa diloloskan jika disetujui dua pertiga dari anggota MPR yang menghadiri rapat paripurna," tandasnya.

Lebih lanjut, Hasanuddin menegaskan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo yang mencuat dalam beberapa hari terakhir ini jangan dianggap melawan hukum apalagi dianggap makar.

"Ini masalah biasa dalam era berdemokrasi. Kalau syaratnya terpenuhi sesuai UU ya bisa saja dilakukan, dan kalau tak terpenuhi ya bukan masalah, tak perlu menjadi kontroversi publik," tandasnya.

Sumber: rmol
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita