Dia menjelaskan, dalam pembuatan kebijakan, kemampuan untuk memahami persoalan dengan cara pandang yang strategis bukanlah opsi, melainkan keharusan.
Menurutnya, seorang policy maker yang efektif harus mampu menembus permukaan masalah dan melihat gambaran besar, mengidentifikasi akar permasalahan dan potensi solusi jangka panjang.
"Ini bukan hanya tentang mencari solusi, tapi membangun strategi yang berkelanjutan dan menciptakan dampak positif yang luas," ujar Achmad Nur, Senin (22/1/2024).
Selanjutnya, kata dia, kecakapan menempatkan prioritas terpenting adalah kunci. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan isu yang bersinggungan, kemampuan untuk menentukan mana yang harus diutamakan menentukan efektivitas kebijakan.
"Debat cawapres terakhir membuka mata kita pada realitas kebijakan di Indonesia. Di satu sisi, ada Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD yang berusaha membahas tema dengan serius dan dalam kerangka 'policy debate'. Mereka menunjukkan pemahaman mendalam tentang isu dan potensi solusinya, serta kemampuan untuk mengkomunikasikannya kepada publik dengan efektif," tuturnya.
"Di sisi lain, ada Gibran. Penampilannya dalam debat terakhir menunjukkan kekurangan yang mencolok. Sebagai contoh, ketika Gibran menyentuh soal litium. Pertanyaannya tidak jelas arah dan tujuannya dalam konteks kebijakan nasional. Ini mencerminkan kurangnya pemahaman substansial tentang isu yang dibahas," kata Achmad Nur.
Dia menilai, perilaku Gibran menunjukkan kecenderungan lebih mengutamakan gimmick ketimbang substansi. Ini seperti permainan anak sekolah daripada debat serius tentang masa depan bangsa.
Achmad Nur menambahkan, sikap Gibran yang cenderung tengil dan kurang menghargai etika debat kebijakan, seperti yang diperlihatkan dalam interaksi dengan Muhaimin dan Mahfud MD, menunjukkan kekurangan dalam kematangan dan pemahaman etika politik.
"Gibran, dalam debat ini, tidak hanya gagal menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang matang, tetapi juga sebagai seseorang yang belum cukup serius dalam berkontribusi pada diskusi kebijakan publik."
Menurutnya, kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk menarik perhatian; tapi juga perlu kedalaman, kematangan, dan komitmen terhadap substansi.
"Dari apa yang telah kita saksikan, Gibran masih jauh dari itu. Sebagai masyarakat, kita harus meminta lebih dari calon pemimpin ke depan. Indonesia butuh sosok yang matang, tidak karbitan, bukan sekadar karena anak dari presiden, tetapi juga memiliki kebijaksanaan, pengetahuan, dan kematangan untuk membawa negara kita maju. Sayangnya, dalam debat terakhir ini, Gibran menunjukkan bahwa dia masih lebih memprioritaskan gimmick daripada substansi yang sebenarnya."
Sumber: kumparan