OLEH: LINDA DJALIL
TERLALU banyak cerita tentang Rizal Ramli yang ku kenal sejak lama sekali. Tentang Hera istrinya yang lembut hati mulai Mas Rizal masih menempati rumah lama di kawasan kavling Polri dekat rumahku.
Lalu pindah ke Jalan Bangka hasil desain Hera sang arsitek andal. Bersama anakku mengantar anaknya pulang tenis, mendampingi Hera di salon milikku saat ia mulai sakit sambil mengobrol dari hati ke hati. Aku betul-betul kehilangan saat Hera meninggalkan kami.
Bertahun-tahun kemudian Mas Rizal menikah dengan Afung, perempuan jelita dari Bangka. Masakannya super enak, meladeni Mas Rizal dari jempol kaki hingga rambutnya.
Menata busana suami dengan apik. Sesekali suami istri itu mengejek aku dengan bergurau, kenapa masih mau berjualan dendeng balado yang lezat itu. Balik jadi wartawan lagilah, bujuk mereka selalu.
Kemudian kuingat bagaimana suami istri ini melongo masuk ke gedung PDS HB Jassin di Taman Ismail Marzuki yang sungguh sederhana dengan tangga besi butut yang melengkapinya. Kukatakan jangan hanya hitung uang dan bicara finansial negara.
Belajarlah memahami sastra, menikmati pembacaan puisi dan drama. Dan itu Mas Rizal ikuti. Beberapa kali setelah itu, ia rajin ke TIM. Juga di rumahnya, acara diskusi apa pun ia hampir selalu mengundang kami untuk berpuisi.
Tak kan aku lupa pula betapa nestapanya ia saat Afung wafat. Air matanya tumpah tiada henti. Berjam-jam aku dan sahabat-sahabat dekatnya menemani di kamar jenazah, menunggu Afung didandani. Berhari-hari pula pelayat datang ke rumah Afung hingga pemakaman di Bogor.
Teman-teman Mas Rizal banyak sekali, mulai dari rakyat jelata, mahasiswa-mahasiswa dari pulau seberang, sampai orang-orang maha penting yang mondar-mandir ke rumahnya maupun ke kawasan Tebet, kantornya.
Cintanya kepada negeri ini, pemikiran-pemikirannya, data akurat yang dimilikinya, dan kemarahannya kepada pejabat-pejabat koruptor dan swasta-swasta culas yang turut mengeruk uang negara, amat sangat dahsyat.
Oleh sebab itu di manapun ia ditempatkan, di Kementerian Keuangan, di Kementerian Kelautan, apalagi ketika ia menduduki jabatan Kepala Bulog, orang-orang sekitarnya sungguh 'mati kutu'.
Ibaratnya akan ia kejar terus setiap sen kebocoran di instansinya untuk menyelamatkan uang negara.
Duh, banyak sekali cerita politik non politik serta guyonan yang lucu-lucu yang kami alami. Piano di sudut tangga yang sering kumainkan, sibuknya dia minta dicarikan tukang pijat untuk anaknya yang berlibur dari Amerika, kerap memborong jualan makananku yang ia bagi-bagikan lagi ke sanak saudara dan staf-stafnya, ataupun bagaimana ia sempat membela seorang perempuan yang dizolimi pada masa jabatannya dan akhirnya kini menempati posisi penting. Ah... segudang rasanya yang masih kusimpan.
Pernah belum lama ini aku dan menantu serta cucu-cucu tak sengaja bertemu dia yang juga sedang bersama anak cucu menantu di restoran. Ia menunjukkan barcode di atas meja.
"Lin, lo ngerti ini apa? Gue gak ngerti dan kalau ada beginian untuk pesan-pesan dan bayar, mending gue pulang, hahaha. Sebab ini bukan generasi kita. Buat apa gue belajar ngerti ginian. Makanya gue bawa anak mantu yang ngerti," ujarnya sembari tergelak tawa berderai-berderai.
Lalu kujawab dengan tawa pula, "Samaa... Gue juga Mas. Tapi kan dikau eks Menko, harusnya bisa paham lho."
Sekarang baru kusadari, meski rumah kami sekawasan, tak pernah sekalipun kuundang Mas Rizal mampir ke rumah... Hahaha... Kalau dipikir-pikir, keterlaluan banget ya gue!
Kami kebanyakan ngobrol lewat telepon atau justru aku yang datang makan siang, makan malam di rumahnya, sesekali ngopi di kafe atau ngobrol di ruang kerjanya tentang segala hal kejadian di negeri ini.
Sahabatku yang manis hati, selamat jalan untukmu. Alfatihah untukmu. Segala doa terbaik mengiringimu. Terima kasih atas persahabatan tulus yang telah kudapat darimu.
Kini kau akan bertemu Hera dan Afung, yang mencintaimu sepanjang hayat mereka. Berbahagialah Mas Rizal Ramli, sang pejuang Indonesia tanpa pamrih, di tempatmu yang baru