Achmad menyebut ada tiga poin yang harus dikritik tajam dari hasil survei SPIN tersebut. Pertama, kata dia, penting untuk mengakui bahwa banyak lembaga survei beroperasi sebagai konsultan pemenangan dalam konteks politik. "Karena keterlibatan mereka dalam politik praktis, ada potensi bias atau kurangnya objektivitas dalam hasil survei mereka," kata Achmad kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Sering kali, ungkap Achmad, hasil survei dapat dipengaruhi oleh siapa yang membiayai survei tersebut, yang bisa mengarah pada apa yang disebut sebagai "lembaga Surepay". "Lembaga yang hasil surveinya mungkin lebih mencerminkan kepentingan pemberi dana daripada opini publik yang sebenarnya," ujarnya.
Kedua, lanjutnya ANH sapaan akrabnya, mengenai survei SPIN yang menunjukkan penurunan elektabilitas Anies dan kenaikan signifikan untuk Prabowo-Gibran, sama sekali mengada-ada. Berbagai survei sudah menunjukkan ada tren kenaikan pada Anies dan stagnan-cenderung turun pada Prabowo. "Jadi terkesan ini murni kepentingan politik bukan objektivitas koresponden," katanya, menekankan.
Ketiga, sambung ANH, survei elektoral bisa juga digunakan sebagai alat penggiringan opini publik. "Hasil survei yang dipublikasikan secara luas dapat mempengaruhi persepsi publik tentang popularitas atau dukungan terhadap kandidat tertentu, yang pada gilirannya bisa mempengaruhi perilaku pemilih," jelas ANH yang dikenal sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik ini.
Akhirnya, tambah ANH, penting bagi publik dan pemangku kepentingan untuk mengkritisi dan mempertanyakan hasil survei, terutama dalam konteks politik yang sangat kompetitif. "Sementara survei dapat memberikan wawasan tentang tren dan opini publik, mereka tidak selalu mencerminkan hasil pemilihan yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting untuk mengabaikan lembaga 'surepay' seperti SPIN ini," tutur ANH yang juga pendiri Narasi Institute dan dosen UPN ini.
Sumber: inilah