Dalam sorotan ini, ide pemakzulan semakin mendapatkan pijakan, mengingat dugaan pelanggaran konstitusi yang dianggap semakin masif dan terstruktur.
Dilaporkan adanya pernyataan kontroversial oleh Sekda di Sumatera dan kepala desa yang dikumpulkan di beberapa tempat di Jawa menambahkan dimensi serius terhadap isu kecurangan.
Meski demikian, Bawaslu tetap menjadi fokus untuk membuktikan atau membantah klaim ini, seperti yang terjadi pada kasus kecurangan pemilihan di Taiwan.
"Dugaan kecurangan harus dibuktikan oleh Bawaslu, tapi kita tidak boleh lupa untuk tetap menghormati proses hukum."
Politik dinasti, yang diangkat oleh The New York Times, menyoroti isu pelanggaran hukum dan etika terkait kelompok Jokowi.
Meskipun pelanggaran etika dapat menjadi bahaya bagi legitimasi seorang pemimpin, tantangan muncul ketika hal tersebut sulit terbukti secara hukum.
"Politik dinasti bukan hanya masalah hukum, tapi juga etika. Tantangan ada pada bukti yang dapat menguatkan klaim ini."
Dalam konteks Pilpres, PPATK mengumumkan adanya uang berputar sebesar 55,1 triliun.
Namun, pertanyaan muncul terkait definisi kecurangan dan bagaimana mengatasi ketidaksetaraan logistik dalam pemilihan.
Ilmu fenomenologi muncul sebagai alat analisis, mengungkapkan fenomena seperti spanduk partai yang mencolok tetapi memiliki pengurus yang sedikit.
"Ilmu fenomenologi dapat membuka perspektif baru dalam menganalisis fenomena politik yang terjadi di Indonesia."
Namun, kesulitan dalam penyelidikan oleh Bawaslu juga menjadi sorotan, terutama dalam kasus yang terjadi di Papua.
Polemik pemilihan Gibran sebagai cawapres menjadi titik krusial, dengan pertimbangan etika dan kepentingan pribadi Jokowi.
Sumber: viva