GELORA.CO - Demokrasi di Tanah Air masih bisa berjalan sebagaimana mestinya bila praktik politik dinasti Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2024 bisa dikalahkan.
Hal itu disampaikan Founder Lembaga Survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio atau Hensat, pada diskusi virtual LP3ES bertajuk “Masa Depan Demokrasi jika Dinasti Jokowi Menang”, Selasa (9/1).
“Lantas, sebetulnya apa yang harus kita lakukan agar hal-hal yang tadi disampaikan Mbak Bivit dan Mas Wija (narasumber diskusi) tidak terjadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus bersatu padu mengalahkan jagoan Jokowi, supaya tidak berkuasa, supaya tidak menang,” kata pengamat politik yang akrab disapa Hensat itu.
Menurut Hensat, salah satu cara untuk mengalahkan jagoan Jokowi yang disebut-sebut mengarah pada pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, adalah dengan bergabungnya dua paslon yang menjadi rivalnya di Pilpres 2024. Dalam hal ini pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies-Muhaimin dan pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar-Mahfud.
“Sebagai pengamat, saya lihat hampir saja terjadi bila langsung ada pemisahan antara pasangan 02 yang penguasa dengan gabungan kekuatan antara pasangan 01 dan 03. Kalau tidak ada garis tegas, mana yang penguasa, mana yang men-challenge penguasa, maka akan sangat sulit terjadi kemenangan bagi demokrasi,” kata Hensat yang juga Dosen Universitas Paramadina ini.
Namun demikian, Hensat menyayangkan komunikasi politik antara paslon 1 dan 3 justru masih sangat sulit. Ini lantaran masing-masing tim pemenangan enggan untuk melebur dan menyatukan kekuatan untuk melawan paslon 2.
“Sayangnya, hubungan komunikasi yang baik antara 01 dan 03 itu kemudian dibantahkan sendiri oleh salah satu perwakilan dari 01, ‘karena nggak mungkin terjadi dalam kompetisi kita berkomunikasi’. Padahal menurut saya, satu-satunya jalan satu-satunya jalan cara untuk menghalangi itu adalah memang komunikasi antara 01 dan 03 sebagai garis tegas pemisahan antara si penguasa dengan yang tidak berkuasa,” sesal Hensat.
“Apakah kemudian itu pragmatis pertanyaannya, mungkin iya, tapi per hari ini saya tidak menemukan alasan bagi Jokowi, Prabowo, Gibran untuk tidak memaksakan mereka menang satu putaran, atau tidak memaksakan mereka menang dua putaran, di putaran kedua,” imbuhnya.
Atas dasar itu, Hensat menilai bahwa untuk menghentikan ambisi kuasa dinasti Jokowi masih memerlukan gerakan yang ekstrem agar demokrasi di Indonesia masih bisa bertahan.
“Artinya, butuh sebuah kegiatan ekstrem luar biasa untuk menghalangi kekuasaan ini menang dalam pemilu yang katanya demokratis, katanya ya, kata penguasa pemilunya demokratis. Kalau kita lihat-lihat kan banyak hal yang membuat sebetulnya ini tidak demokratis,” pungkas Hensat.
Sumber: rmol.