GELORA.CO -Pemerintah telah mengajukan draft RUU Perkoperasian untuk dilakukan pembahasan di DPR beberapa waktu lalu. Pengesahan RUU Perkoperasian ini sangat penting mengingat UU No. 25/1992 Tentang Perkoperasian sudah tidak memadai sebagai sarana bagi pengembangan koperasi yang baik.
“Sebut saja salah satunya karena UU yang ada tidak imperatif. Padahal jika suatu UU itu sudah tidak imperatif sesungguhnya lebih baik UU itu tidak ada, percuma saja,” kata Ketua Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (1/1).
Sambung dia, UU 25/1992 itu terlalu banyak pasal yang mengatur koperasi namun tidak ada sanksinya jika dilanggar.
“Akhirnya saat ini munculah banyak koperasi koperasi palsu, koperasi abal abal, rentenir berbaju koperasi. UU yang ada hanya jadi semacam macan kertas,” beber Suroto.
UU 25/1992, lanjut dia, secara definisi (koperasi) sudah salah. Jadi sudah cacat secara epistemologis.
“Kalau sudah cacat per definisi maka biasanya kerusakan koperasi di suatu negara itu langsung terjadi,” ungkapnya.
Menurut penulis buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme", janji pemerintah yang berulang kali menarget akan segera disahkannya UU Perkoperasian hanya jadi pepesan kosong.
“Sejak Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menjabat sebagai menteri, saya catat sudah ada 11 kali berjanji akan menarget pengesahan UU Perkoperasian dan selalu terus gagal dan diulang ulang,” tegasnya.
Masih kata dia, Menteri Koperasi dan UKM itu memang tidak serius dalam mengurus kebijakan koperasi.
“Kalau memang serius sebetulnya pasal pasal penting seperti pengembangan Lembaga Penjamin Simpanan khusus koperasi, pemberian distingsi perpajakan dan lain lain, itu sesungguhnya dapat juga dilakukan lewat pengesahan UU Omnibus Law Ciptakerja, UU Omnibus Law PPSK (Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan), UU Omnibus Law Harmonisasi Perpajakan,” bebernya lagi.
Dia menambahkan, terasa aneh, banyak pasal pasal yang mengatur tentang koperasi yang ditambahkan. Seperti misalnya soal pembinaan, namun pasal-pasal penting agar menghapus diskriminasi terhadap koperasi selama ini justru tidak dilakukan.
“Sebut saja misalnya soal larangan koperasi bergerak di sektor rumah sakit, penanaman modal asing, dan lain lain,” tegasnya lagi.
Sambung CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) ini, regulasi koperasi seharusnya semakin perkuat otonomi, bukan malahan semakin digencet terus jadi bahan mainan kebijakan.
“Sebut saja misalnya di UU Omnibus Law Ciptakerja. Di UU ini koperasi justru dibawa ke ranah pengembangan koperasi model kolonial. Kebijakan pengembanganya lebih banyak ditumpukan kepada pemerintah,” ungkapnya lagi.
Menurutnya, konsep "pembinaan koperasi" yang sudah gagal total itu malahan diperkuat. Banyak sekali pasal pasal yang orientasinya adalah ingin kerdilkan koperasi dan jadikan pasal-pasal di dalamnya itu sebagai bentuk rompi pengaman permainan proyek yang selama ini sudah dimainkan oleh elit birokrat, politisi dan pengusaha kapitalis.
“Di UU Omnibus Law PPSK lebih ngawur lagi, bahkan koperasi palsu itu mendapat rekognisi dan ini potensi akan merusak koperasi ke depannya. Cacat ini terlihat dari pasal yang jelas merekognisi koperasi simpan pinjam yang hanya berbadan hukum koperasi dapat disebut sebagai koperasi. Betapa tidak, menjalankan prinsip koperasi dengan memunculkan istilah yang ngawur seperti koperasi closed loops dan open loops,” tukas Suroto.
“Padahal satu satunya denominator koperasi itu dapat disebut koperasi itu ya, prinsip prinsip koperasi yang berlaku universal di seluruh dunia,” pungkasnya.
Sumber: RMOL