Adapun orasi ilmiah yang disampaikannya terkait dengan maraknya kasus berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian jelang Pilpres 2024.
Sebelum dilantik sebagai guru besar UP, Prof Reda juga sempat memberikan pandangannya soal perbandingan kasus Pilpres pada tahun 2019 dan 2024.
"Alhamdulillah sih ya, sekarang kalau dibandingkan tahun 2019 walaupun masih dalam masih proses di 2024 tidak serumit waktu 2019," katanya saat menggelar jumpa pers di kampus UP, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurut dia, pada 2019, jauh lebih rumit. Bahkan, sebelum tahun politik di mulai sudah banyak ditemukan pelanggaran.
"Karena memang dulu mungkin paslonnya (capres) cuma dua, jadi head to head. Jadi sudah terbelah dari awal. Nah kalau yang sekarang nih kan memang ada tiga jadi sampai sejauh sekarang ini pun alhamdulillah lah tidak se- semarak tahun 2019," jelasnya.
Selain itu, menurutnya upaya-upaya yang dilakukan aparat dan pemerintah dalam menciptakan situasi kondusif juga telah berhasil.
"Juga tingkat kesadaran membaca dari masyarakat sudah mulai meningkat ya kan. Nah itu nanti kita bisa perlu melakukan penelitian lebih lanjut."
Prof Reda yang saat ini resmi menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UP itu kemudian memberikan sederet bocoran terkait modus operandi penyebaran hoax dan ujaran kebencian jelang pilpres.
"Yang banyak di sini adalah mereka itu akan melihat pidato-pidato kampanye itu akan dipotong-potong, akan dicampur sehingga menimbulkan kesan situasi yang tidak benar. Kemudian disebarluaskan," tuturnya.
Atau bahkan membuat situasi yang memang tidak ada menjadi nyata dengan menggunakan rekaman suara seseorang, dengan foto orang lain.
"Jadi tidak nyambung antara foto yang ada dengan suara yang ada. Tetapi sekarang mungkin modusnya lebih canggih lagi dengan pakai artificial intelijen wajah."
Namun yang perlu diingat, lanjut Prof Reda, yakni jejak digital tak akan bisa dihapus. Mereka yang terbukti melanggar tentu akan mendapat sanksi hukum.
"Secanggih apapun itu ya kan itu nanti akan ada alat yang lebih canggih lagi, ada teknik yang lebih canggih lagi untuk bisa mendeteksi siapa yang mengawalmulakan, yang menginisiasi, yang melakukan upload pertama dan bahkan bisa diketahui ini bikinnya di mana," jelasnya.
"Jadi jangan dikira bahwa itu tidak ada jejak digitalnya," sambung dia.
Lulusan Universitas Pancasila itu juga tak memungkiri, adanya perputaran uang dalam kejahatan tersebut.
"Kemungkinan (ada), tapi pembuktiannya agak susah. Ya kalau nyium-nyiumnya aja mungkin ada. Karena kan itu teknologi, mesti pakai aplikasi yang memang ada dananya tuh. Cari datanya yang baguskan itu pasti ada biaya, ya minimal ada yang biayain," tuturnya.
Menurut Prof Reda, kejahatan itu belum tentu diarahkan oleh paslon atau tim sukses, namun bisa juga dari penggemar yang fanatik.
"Ya pasti ada biayanya, tetapi masalah itu disengaja atau tidak pembuktian itu agak sulit. Karena kan minimal harus ada dua alat bukti yang cukup. Tapi kalau dia cash itu agak susah, kecuali ketangkap basah, lagi bagi duit ada CCTV, nah sip lah dia kena."
Sumber: viva