Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebut, aksi bela diri dilakukan aparat kalau nyawanya terancam. Hal ini dibenarkan secara universal, namun alasan yang menyertai tak logis, karena kekerasan disebut dipicu bunyi knalpot bising.
"Pertanyaannya, apakah knalpot bisa menjadi ancaman nyawa bagi pelaku? Rasanya tidak," kata Al Araf, di Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Dirinya mengingatkan aksi kekerasan tidak bisa dibenarkan oleh siapapun, terlebih TNI selaku alat pertahanan negara. Peristiwa Boyolali juga tidak berdiri sendiri, karena terjadi pada masa kampanye, dan warga yang melintas membawa atributnya.
"Motor yang berisik dan bising itu selalu terjadi, kenapa harus terjadi kekerasan seperti di Boyolali. Apalagi ini kan soal lalu lintas, menjadi kewenangan polisi," keluhnya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyebut pernyataan KSAD dalam wawancara pada televisi berita keliru. Pernyatan Jenderal Maruli dianggap memberi pembenaran aksi anggota menganiya sipil.
"KSAD menyatakan, bayangkan kalau kendaraan bermotor dengan knalpot brong, siapa yang berani menindak? Padahal, Bogor menertibkan urusan knalpot brong dengan peraturan kota, peraturan lalu lintas, masuk dalam ketertiban umum. Tentara tidak mengurus ketertiban umum, lalu lintas, terlalu kecil. Tentara harus berorienntasi pada urusan pertahanan, luar negeri," kata aktivis HAM itu.
Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti juga mengaku kecewa dengan pernyataan pimpinan tertinggi AD. Dirinya berharap debat capres mendatang yang mengangkat tema pertahanan, bisa mengeksplorasi peristiwa Boyolali.
"Pernyataan membela diri, harusnya dibuktikan melalui peradilan. Bukan KSAD yang menyampaikan itu, tapi pengadilan. Jadi, perlu dibawa ke pengadilan negeri, bukan militer. Bagaimana pengadilan militer bisa objektif, sementara KSAD sudah menyatakan itu tindakan membela diri," kata Ray.
Sumber: akurat