AHMAD Ali dan Sudirman Said merupakan dua sosok yang berbeda gaya dan citra, meski sama-sama dalam Timnas Amin. Sering bertolak belakang dan terkesan saling menegasikan. Namun satu hal yang sama pada keduanya, yakni komitmen dan konsisten serta loyal mendukung pasangan Anies-Gus Imin, betapapun konsekuensi dan risiko yang berat menghinggapi mereka.
Watak yang keras dan pendirian yang tegas, itulah gambaran sepintas yang melekat pada sosok Ahmad Ali. Penulis pernah berkesempatan bercengkerama dengan beliau walaupun sebentar dan hanya sesekali. Ada kesan yang dalam terhadapnya.
Pengusaha sekaligus politisi kawakan itu memang punya karakter yang kuat. Hangat, terbuka dan meledak-ledak, namun teguh pada pendirian. Cenderung suka melawan mainstream dan ceplas-ceplos.
Ahmad Ali juga dikenal murah hati dan dermawan. Ahmad Ali menjadi orang penting yang total dengan sumber daya yang dimilikinya, untuk mendukung Anies bahkan sebelum Partai Nasdem mendeklarasikan Anies sebagai capresnya.
Lain lagi dengan Sudirman Said, penulis juga punya penilaian sendiri terhadapnya. Beberapa kali berinteraksi, Sudirman Said kental dengan gaya bahasa yang tenang, sikap yang teduh, kuat dalam wilayah konseptual dan praksis.
Sudirman Said juga kerap memberikan support kepada yang membutuhkan terlebih pada kerja-kerja pemenangan pasangan Amin.
Jauh sebelum penentuan Gus Imin sebagai cawapres Anies, penulis berkesempatan makan siang bersama di kediaman Ahmad Ali di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Suasana terasa santai namun sarat obrolan strategis di sela-sela menyantap masakan yang lezat dan penuh gizi. Dia begitu sangat memahami dan menguasai masalah, mulai dari perencanaan dan bagaimana mengelola hingga mencapai tujuan.
Menjelang pergantian tahun 2023 ke 2024 yang begitu dekat dengan agenda pilpres, Ahmad Ali melontarkan pernyataan yang menghebohkan dan dianggap kontroversi, khususnya di kalangan pendukung pasangan capres-cawapres Anies dan Gus Imin.
Banyak yang menilai statemen Wakil Ketua Umum Partai Nasdem itu terlalu keras, provokatif, dan dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan di kubu pendukung pasangan Amin. Pernyataan orang dekat Surya Paloh itu dinilai telah menimbulkan polemik yang bisa mengganggu pemenangan tim Amin.
Lalu apa yang memicu semua itu dari pernyataan Ahmad Ali? Kepala Pelatih Timnas Amin itu menyatakan sebuah ketololan jika berkomunikasi dengan paslon lain yang menjadi lawan politik. Pernyataan yang ditengarai tendensius kepada Sudirman Said yang menjadi Jubir Timnas, kontan menimbulkan kegaduhan di internal pendukung pasangan Amin.
Ahmad Ali juga menganggap Sudirman Said telah mencampuri urusan yang menjadi kewenangan Partai Nasdem. Sempat muncul sikap reaksioner dari Sudirman Said, juga beberapa komentar pro dan kontra dalam internal Timnas Amin.
Kegaduhan pada akhirnya mereda saat Ahmad Ali meminta maaf dan mengimbau kepada semua pihak agar masalahnya tidak terus menimbulkan polemik dan bisa diakhiri. Perlahan polemik itu mulai menghilang dan kemudian dianggap selesai.
Kritik Otokritik yang Sehat di Kubu Amin
Perdebatan antara Ahmad Ali dan Sudirman Said soal penting atau tidaknya untuk menjalin komunikasi dan kemungkinan menjajaki kerja sama dengan paslon lain yang menjadi salah satu rival. Wacana itu menjadi menarik dan mampu menunjukkan geliat demokrasi sekaligus “intelektual exercise” yang sehat di Timnas Amin.
Ini berarti merepresentasikan kubu pendukung Amin mulai dari partai politik, birokrasi, pengusaha dan akademisi hingga para relawan. Mampu menegaskan dalam kubu Amin, sejatinya tidak alergi pada perbedaan pendapat terhadap masalah dan solusinya dalam upaya memenangkan pasangan Amin.
Ahmad Ali bisa jadi sedang berusaha meyakinkan ke semua anasir pendukung pasangan Amin, bahwasanya komitmen, konsistensi dan integritas pada perjuangan memenangkan Anies-Gus Imin sebagai presiden dan wakil presiden saat kontestasi pilpres 2024, harus dijaga dan dikawal sepenuh hati.
Termasuk untuk tidak bersentuhan maupun menjalin komunikasi dengan kompetitor. Terlebih kepada paslon yang keduanya disinyalir menjadi subordinat dari rezim kekuasaan distortif dan yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Selain mereduksi sikap dan mental oposisi serta kerja-kerja politik yang penuh risiko selama memperjuangkan pasangan Amin. Upaya menjalin komunikasi apalagi sampai bekerja sama dengan paslon yang tidak mengusung perubahan dan berorientasi pada membangun Indonesia yang lebih baik.
Hal itu layak disebut ketololan dan mungkin juga sebagai pengkhianatan, mungkin seperti itu di mata Ahmad Ali. Di luar itu, wajar Ahmad Ali gigih menjaga marwah pasangan Amin, mengingat dia menjadi salah satu orang yang berhasil mengawinkan Anies dan Gus Imin menjadi pasangan capres-cawapres.
Berbeda dengan Sudirman Said, mantan menteri dan pernah menjadi calon gubernur Jawa Tengah itu, mencoba mengambil peran-peran terbuka sebagai sosok yang mendukung, sekaligus jubir Timnas Amin. Sudirman Said lebih menampilkan sikap politik yang moderat dan akomodatif terhadap konstelasi dan konfigurasi politik pilpres yang berkembang.
Sudirman Said berkeyakinan dengan terjadinya polarisasi dan tensi yang tinggi di antara kedua paslon yang menjadi rival pasangan Amin, membuka peluang sinergi dan kolaborasi yang menguatkan pasangan Amin, baik untuk pertama maupun putaran kedua Pilpres 2024.
Ada blessing selain kerangka taktis dan strategis saat menghadapi kontestasi capres dan cawapres yang begitu dominan dipengaruhi variabel politik yang luas, boleh jadi seperti itu yang ada dalam benak Sudirman Said.
Ahmad Ali tak bisa disalahkan, begitupun dengan Sudirman Said. Keduanya memiliki perspektif politik yang sama-sama visioner dan akurat. Kedua sosok penting dalam kubu pasangan Amin ini telah mengukir capaian yang maksimal dan terus bertumbuh untuk memenangkan Anies dan Gus Imin sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat Indonesia.
Kerja cerdas, kerja cerdas dan spartan menampilkan inisiasi, kreativitas dan inovasi politik sejauh ini untuk membesarkan pasangan Amin, tak terhitung lagi dilakukan Ahmad Ali dan Sudirman Said.
Keduanya dalam hal ini hanya berbeda sudut pandang dan kalkulasi politik. Hal-hal demikian sah-sah saja sejauh tidak kontra produktif dan menjadi bumerang bagi pasangan Amin.
Publik pada umumnya dan internal pendukung pasangan Amin, layak belajar pada keduanya. Ahmad Ali dan Sudirman Said memberikan pelajaran penting, tentang bagaimana demokrasi bisa hidup dengan kebebasan ekspresi namun rasional dan bertanggung jawab, tidak mengabaikan etika dan kesetaraan, serta yang paling penting tidak feodal dan menyuburkan politik dinasti.
Ada proses dialektika di balik perdebatan Ahmad Ali dan Sudirman Said yang selama ini langka dipertontonkan di ruang publik, terutama dalam lingkungan partai politik, birokrasi dan di kalangan akademisi.
Menarik dan menggembirakan sekaligus menjadi ajang pembuktian, kubu pemenangan pasangan Amin begitu kaya akan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Ahmad Ali dan Sudirman Said pada akhirnya telah memberikan semacam tutorial penting bagi siapa pun yang mendamba perubahan, kepentingan taktis dan strategis sekalipun tetap terbuka menampilkan diskursus dan kritik otokritik yang sehat.
Begitulah kedua punggawa pasangan Amin berdinamika. Sebagaimana yang telah menutup akhir tahun dan membuka lembaran tahun baru, panggung politik dihangatkan oleh Ahmad Ali yang eksotis dan Sudirman Said yang dialogis.
Konfrontasi atau kompromi terhadap sesuatu, sangat ditentukan sejauh mana mengukur kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
*(Penulis adalah Ketua Umum Relawan Bro Anies (Bronies)