GELORA.CO - Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Presiden Jokowi telah membantah pernyataan Agus Rahardjo tersebut. Ia membantah memerintahkan Agus Rahardjo untuk menghentikan kasus yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto itu.
Namun, Denny punya pendapat berbeda terkait pernyataan Jokowi tersebut. "Presiden Jokowi berbohong? Atau Agus Rahardjo yang berbohong? Melihat rekam jejak, saya lebih yakin dengan Agus Rahardjo. Presiden Jokowi terlalu sering berdusta dan bermain kata-kata," kata Denny Indrayana dikutip, Selasa (5/12/2023).
Denny menuturkan, Jokowi berjanji untuk menguatkan KPK, ternyata melemahkan lembaga antirasuah itu. Janjinya cawe-cawe pilpres untuk kepentingan bangsa, ternyata memaksakan Gibran melalui Putusan Paman Usman untuk kepentingan dinasti keluarga.
"Jokowi menyatakan tidak ada pertemuan dengan Agus dalam catatan agenda acara. Cara ngeles itu saja sudah sangat meragukan, memalukan. Apalagi, Pratikno hanya mengatakan: lupa. Harusnya Beliau lebih jujur, melawan lupa," tutur Denny.
Denny menuturkan, sejak lama Presiden Jokowi memang wajib dimakzulkan, supaya tidak terlalu banyak drama Korea, yang merusak moralitas konstitusi bangsa Indonesia.
"Beranikah DPR memulai hak bertanya atau penyelidikan terhadap Jo-Kawe?" ucap Denny.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun angkat bicara terkait pernyataan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, yang mengaku diminta presiden untuk menghentikan kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Jokowi membantah memerintahkan Agus Rahardjo untuk menghentikan kasus yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto itu.
Jokowi pun membeberkan bukti-bukti bantahannya.
Pertama, ia mengaku meminta Setya Novanto untuk mengikuti proses hukum yang menjeratnya terkait kasus E-KTP.
"Coba dilihat di berita tahun 2017 bulan November. Saya sampaikan saat itu Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada, jelas berita itu ada semuanya," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (4/12/2023).
Kedua, lanjut Jokowi, bukti lainnya adalah terkait proses hukum terhadap Setya Novanto yang terus berjalan.
“Ketiga, Pak Setya Novanto sudah dihukum divonis dihukum berat 15 tahun (penjara)," ucap Jokowi.
Jokowi pun mengaku heran dengan Agus Rahardjo yang menyampaikan pernyataan tersebut kepada media. Ia pun bertanya-tanya mengapa hal itu diramaikan.
"Terus untuk apa diramaikan itu, kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa?" ujar Jokowi.
Jokowi pun mengaku bahwa pertemuan yang dikatakan oleh Agus Rahardjo tersebut tidak ada dalam jadwalnya.
"Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan, saya suruh cek di Setneg (Sekretariat Negara) enggak ada (pertemuan)," ucap Jokowi.
Tudingan Agus Rahardjo
Agus Rahardjo mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Setya Novanto kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi.
Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.
Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).
"Itu di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," lanjutnya.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan sprindik sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.
"Saya bicara (ke presiden) apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), enggak mungkin saya memberhentikan itu," jelas Agus.
Agus merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-Undang KPK.
Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah.
Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pimpinan KPK, kata Agus, juga dipersulit untuk menemui Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk meminta draf revisi UU KPK.
"Kemudian karena tugas di KPK seperti itu ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu," kata Agus
Sumber: Tribunnews