GELORA.CO - Pengamat hukum dari Universitas Nasional (Unas) Dr Ismail Rumadan mengkritik pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menganggap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkadang tidak mengantongi bukti cukup.
Menurutnya, narasi Mahfud MD yang saat ini menjadi Cawapres dari pasangan Ganjar Pranowo itu justru melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Sebagai Menko Polhukam, Mahfud MD seharusnya menyampaikan pernyataan yang ikut mendorong upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK,” ujar Ismail di Jakarta, Sabtu (9/12/2023).
Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menegaskan, jika ada langkah penegak hukum yang salah atau keliru dari KPK, maka tugas Mahfud MD harus memberikan teguran yang bersifat koordinasi secara resmi. Mahfud MD bisa menyampaikan bahwa ada yang tidak sesuai dengan langkah KPK dalam proses penegakan hukum.
“Ini (teguran) yang seharusnya dilakukan, bukan membuat penyataan di depan publik layaknya seperti pengamat hukum,” tandasnya.
Ismail menilai dengan pernyataan dan narasi Mahfud MD yang seakan melemahkan tugas KPK maka secara tidak langsung Mahfud MD justru mengendorkan semangat penegakan hukum di KPK. Apalagi posisi KPK saat ini sangat lemah dengan adanya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
“Saat ini internal KPK banyak diterpa masalah hukum yang melibatkan pimpinan KPK. Jangan sampai pada akhirnya KPK malah dibubarkan karena dianggap tidak profesional lagi dalam penegakan hukum korupsi,” paparnya.
Protes terhadap pernyataan Mahfud MD juga disampaikan oleh para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute.
Ketua IM57+ Institute Mochammad Praswad Nugraha mengungkapkan pernyataan Mahfud MD bukanlah hal yang mengherankan. Praswad menyinggung posisi Mahfud dalam proses revisi dan pelemahan KPK pada tahun 2019.
"Narasi yang disampaikan (Mahfud) tidak berbeda dengan berbagai pihak yang menginisiasi dan mendukung revisi UU KPK," kata Praswad dalam keterangannya pada Sabtu (9/12/2023).
Atas pernyataan itu, Praswad pertanyaan komitmen Mahfud dalam inisiatif penguatan KPK. Padahal Mahfud menggelorakan semangat anti korupsi dalam kampanye dan rekam kerjanya.
"Kami jadi semakin mempertanyakan komitmen Mahfud dalam upaya penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia," lanjut Mahfud.
Praswad juga menganggap narasi tersebut tidak berbeda dengan narasi taliban di KPK yang didasarkan pada khayalan tanpa bukti. Praswad menegaskan kasus yang berangkat dari OTT telah diuji bukan hanya dalam proses peradilan tetapi juga pra peradilan.
"Sehingga soal kecukupan alat bukti sudah tidak perlu dipertanyakan," ujar Praswad.
Praswad dan rekan-rekannya di IM57+ Institute sebagai mantan penyelidik dan penyidik KPK menjamin standar yang harus diimplementasikan saat OTT. Sehingga menurut Praswad tuduhan Mahfud sangat serius menyasar KPK.
"Karena kalau benar maka selama ini penyidik telah melakukan kedzaliman dan merekayasa kasus. Hal tersebut tentu bisa menjadi celah dalam proses hukum, terlebih disampaikan oleh Menkopolhukam," ujar Praswad.
Menko Polhukam Mahfud Md meralat pernyataan soal operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang dinilai terkadang tidak mengantongi bukti cukup. Dia mengatakan yang benar adalah menetapkan tersangka tanpa bukti yang cukup.
"Saya perbaiki, bukan OTT, tapi menetapkan orang sebagai tersangka, buktinya belum cukup, sampai bertahun-tahun itu masih tersangka terus. Itulah sebabnya, dulu di dalam revisi UU itu muncul agar diterbitkan SP3 bisa diterbitkan oleh KPK," kata Mahfud setelah menghadiri acara Hari Antikorupsi Sedunia bersama relawan Ganjar-Mahfud di Bandung, Sabtu (9/12/2023).
Mahfud menuturkan sampai saat ini masih banyak yang ditetapkan sebagai tersangka tapi belum juga disidangkan karena buktinya belum cukup. Menurut Mahfud, hal itu bisa menyiksa orang.***
Sumber: harianterbit.