Potensi Naiknya Parpol Islam dan Lengsernya PDIP dari Puncak

Potensi Naiknya Parpol Islam dan Lengsernya PDIP dari Puncak

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA belum menunjukkan adanya kenaikan elektabilitas partai-partai politik Islam dari perolehan Pemilu 2019 lalu. Namun, suara parpol Islam bisa terkerek karena masih ada 14,7 persen pemilih mengambang atau swing voters yang berpotensi direbut.

“Jika dibandingkan dengan perolehan pemilu 2019 tentu data ini belum menunjukkan mereka naik, sebab masih ada 14,7 persen swing voters berpotensi saling direbut,” kata Direktur Citra Publik LSI Denny JA Hanggoro Doso Pamungkas kepada Republika, Selasa (19/12/2023).

Dalam paparan hasil survei terbaru LSI Denny JA, terpampang angka elektabilitas parta-partai politik Islam, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 7,7 persen berada di peringkat keempat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,3 persen di urutan kelima, Partai Amanat Nasional (PAN) 3,3 persen di urutan kedelapan, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,9 persen di peringkat kesembilan. Sedangkan Partai Gelora 0,3 persen, Partai Ummat 0,1 persen, dan Partai Bulan Bintang (PBB) 0 persen.

Untuk diketahui, pada Pemilu 2019 PKB berada di urutan keempat, PKS keenam, PAN kedelapan, dan PPP kesembilan. “Kita lihat tracking survei berikutnya. Karena kerja-kerja mesin partai politik, para vote getter dan juga partisipasi pemilih di wilayah basis sangat menentukan hasil pemilihan legislatif,” kata dia.

Dari data tersebut, Hanggoro menerangkan, ada dua partai Islam yang potensial tidak lolos parliamentary threshold (PT) atau nilai ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Menurut dia, kedua partai itu adalah Partai Ummat dan Partai Gelora. Dengan ditambahkan margin of error survei ini yang sebesar 2,9 persen pun perolehan elektabilitas mereka tidak mencapai 4 persen.

Sementara untuk PPP dan PAN, keduanya diprediksi bisa lolos PT. Sebab, jika ditambahkan dengan rentang margin of error sebesar 2,9 persen, maka perolehan elektabilitas mereka dapat melampaui angka 4 persen. “Elektabilitas partai ini rendah disebabkan tidak terasosiasi langsung ke calon presidennya. Mesin partai dan program yang ditawarkan ke publik harus lebih gencar lagi. Selain itu, mereka belum optimal meraih suara dari yang puas pada kinerja Jokowi,” kata dia.

Survei ini dilakukan menggunakan metodologi multistage random sampling dengan 1.200 responden. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan wawancara tatap muka dengan menggunakan kuisioner. Waktu pengumpulan data dilakukan pada 20 November 2023-3 Desember 2023 dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.

Posisi puncak


Dalam surveinya, LSI Denny JA menemukan elektabilitas PDIP untuk pertama kalinya tersalip oleh Partai Gerindra sejak 2014. Di mana, elektabilitas PDIP kini ada di bawah Partai Gerindra meski selisihnya tidak signifikan. “Pada akhir November hingga awal Desember ini data kita dapati Gerindra telah mencapai 19,5 persen, disusul PDIP 19,3 persen,” ucap Hanggoro Doso Pamungkas.

Dia mengatakan, survei kali ini menunjukkan adanya tren kenaikan elektabilitas Partai Gerindra yang sudah melampaui PDIP sejak 2014 lalu. Dia menjelaskan, data kali ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ada fluktuasi elektabilitas yang terpotret sejak Januari hingga November 2023 hingga akhirnya pada survei terakhir kali ini tercatat temuan baru tersebut.

Dia mengungkapkan, berdasarkan penelusuran hasil pemilihan legislatif (pileg) sejak 2014, perolehan elektabilitas Partai Gerindra kali ini sudah melampaui perolehan suara PDIP pada Pileg 2019 dengan angka 19,3 persen. Pada Pileg 2014, Partai Gerindra terpaut 7,14 persen dari PDIP dengan perolehan suara 11,81 persen berbanding 18,95 persen. Pada Pileg 2019, perolehan suara Partai Gerindra ada di angka 12,57 persen, dan PDIP ada di angka 19,33 persen.

“Kemudian pada survei kali ini ternyata suaranya (PDIP) masih sama dengan perolehan Pileg 2019 lalu, yakni 19,3 persen. Namun demikian berdasarkan survei kali ini, perolehan suara (PDIP) tahun 2019 telah dilampaui oleh Gerindra sebesar 19,5 persen,” kata dia.

Menurut Hanggoro, dari sekian penyebabnya, salah satunya adalah serangan-serangan PDIP ke Jokowi dan penolakan Piala Dunia U-20. “Kalau kita lihat tracking surveinya, mulai bulan Juni, Agustus, hingga November 2023, mereka yang  menyatakan puas kepada kinerja Jokowi, itu secara konsisten menurun dari PDIP,” ucap Hanggoro.

Hanggoro menerangkan, mereka mulai meninggalkan pilihannya pada PDIP karena beberapa hal. Pertama, akibat serangan-serangan partai berlambang banteng itu kepada sosok Jokowi. Tercatat pada Juni yang lalu masih di angka 34,6 persen. Pada Agustus turun jadi 28,8 persen. Pada November, hanya 21,4 persen dari mereka yang memilih PDIP.

“Serangan-serangan seperti menyampaikan bahwa Neo-Orba, kemudian isu penegakan hukum yang bernilai lima oleh Ganjar, kemudian isu dinasti, dan lain-lain ini justru malah mengakibatkan turunnya pemilih yang puas kepada kinerja Jokowi, berpindah dari PDIP beralih ke yang lainnya,” ujar Hanggoro.

Alasan berikutnya merupakan kejadian yang sudah cukup lama berlalu, yakni sikap PDIP beserta sejumlah kadernya yang menolak pelaksanaan Piala Dunia U-20. Sosok Ganjar Pranowo, I Wayan Koster, Megawati Soekarnoputri, bahkan PDIP dianggap sebagai pihak yang turut serta menolak piala dunia yang hendak digelar di Indonesia itu.

“Ini memang alasan yang lama, tetapi bisa kita temui bahwa pada survei-survei yang lalu ternyata menolak Piala Dunia itu bukan hanya Ganjar, I Wayan Koster maupun Megawati, tapi juga PDIP dianggap pihak yang turun serta menolak Piala Dunia kala itu. Ini salah satu alasan kenapa PDIP menurun,” terang dia.

Kemudian, alasan lainnya karena sikap PDIP yang menjadikan seorang presiden sebagai petugas partai. Hanggoro menerangkan, sikap tersebut tidak sesuai dengan mayoritas kehendak masyarakat. Dalam data survei LSI Denny JA, mayoritas masyarakat tidak setuju dengan itu, yakni sebesar 69,9 persen menyatakan kurang setuju atau tidak setuju sama sekali dengan sebutan presiden adalah petugas partai.

“Sebanyak 69,9 persen menyatakan kurang setuju atau tidak setuju sama sekali dengan sebutan presiden Republik Indonesia itu sebagai petugas partai. Yang cukup setuju atau sangat setuju hanya 17,5 persen,” ujar dia.

Sumber: republika
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita