Beberapa hari setelah perang Israel-Hamas pecah, perempuan bernama Iman Al-Masry itu harus meninggalkan rumah bersama keluarganya di Beit Hanun dengan berjalan kaki. Ia yang tengah hamil membawa tiga orang anak.
Mereka berjalan kaki sejauh lima kilometer ke kamp pengungsian Jabalia untuk mencari transportasi menuju Deir Al-Balah di selatan. Saat itu, Iman hamil enam bulan dan katanya perjalanan itu terlalu jauh.
"Hal tersebut berdampak pada kehamilan saya," kata perempuan berusia 28 tahun itu seperti dilansir Al Arabiya, Kamis (28/12/2023).
Pada 18 Desember, Iman melahirkan dua putri Tia dan Lynn serta dua putra Yasser dan Mohammed dengan operasi sesar. Namun, ia diminta segera pulang bersama tiga anaknya yang baru lahir karena Mohammed masih terlalu rentan untuk meninggalkan rumah sakit. Sebab, rumah sakit perlu ruang untuk merawat korban luka akibat perang.
Kini, Tia, Lynn, dan Yasser tinggal di ruang kelas sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan pengungsi di Deir Al-Balah bersama 50 anggota keluarga besar mereka.
"Berat badan Mohammad hanya satu kilogram, dia kemungkinan tidak bisa bertahan," kata Iman mengenai anak yang ia tinggalkan di rumah sakit kamp pengungsian Nuseirat.
Berbaring di matras busa di ruang kelas yang diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga besarnya, Iman mengenang perjalannya yang berbahaya. "Ketika saya meninggalkan rumah, saya hanya membawa beberapa pakaian musim panas anak-anak, saya pikir perang hanya berlangsung satu atau dua pekan dan setelah itu kami bisa pulang," katanya.
Lebih dari 11 pekan kemudian, harapannya untuk kembali ke rumah musnah. PBB memperkirakan 1,9 juta dari 2,3 juta populasi Gaza terpaksa mengungsi selama perang.
Konflik pecah setelah Hamas menggelar serangan mendadak ke Israel. Israel membalasnya dengan serangan tanpa pandang bulu ke Gaza yang diikuti invasi pada 27 Oktober lalu. Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan serangan Israel sudah menewaskan sekitar 21.110 orang Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sumber: inilah