GELORA.CO - Penolakan terhadap praktik politik dinasti masih digaungkan mahasiswa di berbagai daerah.
Terbaru, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang menolak keras praktik politik dinasti yang belakangan marak diperbincangkan khalayak.
"Tentunya sangat disayangkan oleh kawan kawan BEM UIN adalah Indonesia yang disebut negara demokrasi justru tercoreng oleh praktik politik dinasti," kata M. Yoga Prasetyo, Ketua BEM UIN Palembang, Senin (18/12/2023).
Ia menilai, pada awalnya presiden Jokowi merupakan sosok pemimpin yang dianggap mampu bersentuhan langsung dengan rakyat, tetapi belakangan, menurutnya, justru diam-diam mempersiapkan keluarganya untuk berkuasa dengan cara mencederai proses hukum dan demokrasi.
Ditambahkan Yoga, pasca ditetapkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang dinyatakan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terbukti adanya pelanggaran kode etik berat, BEM UIN langsung menggelar aksi mimbar bebas di Simpang 5 DPRD Provinsi Sumatera Selatan untuk kemudian menentang dan mengecam putusan MK Nomor 90 tersebut.
"BEM UIN menentang dan mengecam putusan MK 90 dan menuntut agar putusan tersebut direvisi karena cacat administratif dan tidak sesuai dengan aturan yang ada apalagi ketua MK adalah paman Gibran itu sendiri," tambahnya.
BEM UIN Palembang juga dengan tegas mengecam upaya melanggengkan kekuasaan yang disebutnya telah merusak tatanan demokrasi di Indonesia.
"Proses demokrasi yang ada di negara ini sudah dihancurkan dan dampaknya sangat besar. Mahasiswa dan rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap demokrasi yang ada di negara ini," tegasnya.
Ia juga menyesalkan sikap penguasa yang tidak netral dan sangat terlihat berat sebelah dengan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres 2024 mendatang.
Kontroversi politik dinasti
Nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka akhirnya menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Hal ini menjadi polemik lantaran adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.
MK lewat putusannya seakan memberi karpet merah kepada Gibran yang tadinya belum cukup umur untuk dijadikan sebagai cawapres.
Seperti diberitakan, pada 16 Oktober 2923 MK "mengizinkan: kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun.
Putusan itu menuai pro dan kontra, bahkan tak sepi dari kritik karena dinilai lembaga ini melampaui kewenangannya.
Sejumlah pihak menyebutkan, putusan MK ini semestinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Selain dinilai melampaui kewenangannya, MK juga dianggap tidak konsisten dengan putusannya tersebut.
Putusan MK yang dinilai banyak kalangan lahir dari kepentingan politik, bukan semata-mata pertimbangan hukum.
Publik juga menilai putusan MK ini juga tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa upaya uji materi tersebut memang diperuntukkan guna memberi jalan politik bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk berlaga di pemilihan presiden.
Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu, yang juga merupakan Paman Gibran akhirnya dicopot lewat keputusan MKMK.
"Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membacakan putusannya.
"Sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," sambungnya.
Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2023).
Sidang itu dipimpin oleh majelis yang terdiri atas Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams
Sumber: Tribunnews