Syarat Batas Usia Capres-Cawapres Hanya Menguntungkan Gibran, Bukan Anak Muda Indonesia

Syarat Batas Usia Capres-Cawapres Hanya Menguntungkan Gibran, Bukan Anak Muda Indonesia

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Co-Founder Lingkar Wawasan, Christian Viery Pangliuca memandang, persoalan nepotisme menjadi salah satu isu utama yang disuarakan saat reformasi 1998. Pada saat itu, mereka bersepakat tidak ada yang saling mementingkan golongan, kroni atau keluarga sendiri.

Namun pada hari ini, kata Christian, majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 disinyalir ada nepotisme yang terbangun atas kejadian momentum politik.

"MK memutuskan sesuatu. Padahal itu bukanlah kewenangannya untuk menambahkan suatu syarat. Sedangkan hakim MK-nya itu seorang paman atau kerabat," ucap Christian Diskusi Panel Lingkar Wawasan bertajuk "Nepotisme dan Tantangan Demokrasi Bangsa" di Gelanggang Generasi Muda, Kota Bandung. Sabtu (18/11/2023).

Padahal menurutnya, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah diatur bahwa tidak boleh seorang hakim itu mempunyai hubungan semenda atau hubungan darah dengan pemohon.

Christian menilai, jika berbicara soal keuntungan, para pemuda saat ini tidak lantas mendapatkan keuntungan dari adanya batas usia capres-cawapres tersebut.

"Coba kita hilangkan sosok Gibrannya. Apakah keputusan ini menguntungkan yang lain? Buat saya ini tidak menguntungkan para pemuda, karena ada klausul pernah menjadi kepala daerah," ungkapnya.

"Apakah kemudian di umur 27, para pemuda yang bukan siapa-siapa kemudian bisa menjadi kepala daerah? Lalu orang tua saya yang tidak punya modal kapital dan jaringan politik, apakah ini ditujukan kepada pemuda? Tidak," tambahnya.

Menurutnya, sosok pemuda sesungguhnya adalah mereka mereka yang berproses dari awal tanpa mengambil langkah-langkah yang menyalahi aturan.

"Karena kita sebagai negara hukum, tidak boleh aturan hukum itu dilanggar ketika ingin ikut serta dalam kontestasi pemilu," imbuhnya.
Bahkan menurutnya, kesempatan masyarakat Indonesia untuk menjadi capres-cawapres belum sama. Hal itu terlihat dari tidaknya adanya sosok pemimpin yang lahir dari Indonesia bagian timur.

"Kita bisa lihat belum ada capres-cawapres yang berasal dari Indonesia bagian timur, belum ada capres-cawapres yang berasal dari kalangan non muslim, belum ada capres-cawapres yang berasal dari diluar etnis Jawa," terangnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum GMNI Cabang Bandung, Ariel Anggrawan Ortega mengatakan, seorang anak yang lahir di seluruh belahan Indonesia memiliki kondisi keluarga yang berbeda-beda. Sehingga, dewasa nanti para anak ini butuh sokongan-sokongan lain ketika ingin menuntaskan cita-citanya.

"Sehingga kalau kita terlahir dari rahim rakyat biasa-biasa saja, start-nya harus dari nol dan mengeluarkan keringat yang cukup banyak dibandingkan anak-anak pejabat, anak-anak aparat penegak hukum. Artinya tidak semua anak mempunyai garis start yang sama," katanya.

Ariel menilai, ketiga capres yang mencalonkan diri pada Pilpres 2024 ini merupakan putra terbaik bangsa ini. Hanya saja, masyarakat saat ini tidak memandang kapabilitas atau visi-misi mereka secara keseluruhan.

"Kalaupun hari ini saya katakan bahwa ketiga capres itu adalah putra terbaik bangsa, pengaruh terhadap masyarakatnya sangat sedikit, visi-misi itu tidak menjadi patokan masyarakat pada umumnya," tandasnya.

Sumber: okezone
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita