GELORA.CO - Dalam beberapa bulan terakhir Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali disorot tersandung kasus mega korupsi.
Bahkan unjuk rasa besar-besaran di Israel sempat mengemuka agar Netanyahu diadili.
Pada 2019 lalu, Jaksa Agung Israel Avichai Mandelblit mendakwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan tiga skandal termasuk menerima suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.
Dilansir dari file CNN, Netanyahu didakwa menerima ratusan ribu dolar sampanye dan cerutu dari miliarder Arnon Milchan dan James Packer yang diperkirakan senilai 200 ribu dolar AS.
Tuduhan lainnya Netanyahu didakwa meloloskan kemudahan aturan untuk bisnis telekomunikasi milik Shaul Elovitch, rekannya.
Pertengahan 2023 tahun ini, skandal korupsi Netanyahu kembali mencuat.
Netanyahu merupakan satu-satunya Perdana Menteri Israel terlama yang menjabat dari 1996 hingga 1999 dan dari 2009 hingga 2021.
Kasusnya Tenggelam Akhir-akhir Ini
Kasus korupsi Netanyahu tidak muncul lagi setelah Israel melakukan agresi militer ke Gaza Palestina.
Seperti diketahui, Israel melakukan serangan militer besar-besaran sejak Sabtu 7 Oktober 2023 lalu.
Serangan itu diklaim sebagai belasan atas tindakan Kelompok Hamas yang menembaki ribuan orang yang yang menghadiri pada sebuah festival musik di Israel.
Penembakan oleh kelompok Hamas ini memicu serangan balasan yang brutal dari tentara Israel ke Jalur Gaza Palestina.
Akibat serangan Hamas di festival musik itu, dilaporkan ratusan orang meninggal.
Meskipun kemarin, Media Israel melaporkan hasil investigasi terbaru kepolisian setempat mengenai penyerbuan itu bahwa ternyata militer Israel ikut andil dalam penyerangan warganya sendiri itu.
Netanyahu Dapat Masalah Baru
Meski kasus korupsinya mulai tenggelam namun bukan berarti Netanyahu tidak mendapatkan persoalan baru dari dalam negerinya.
Akibat serangan ke Gaza, Israel mulai bergejolak sampai membuat posisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di ujung tanduk.
Hampir seluruh penduduk Israel menghujat pemimpinnya itu karena tidak puas.
Netanyahu ditunjuk hidungnya, disalahkan habis-habisan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Sebanyak 1.200 nyawa warga Israel yang tewas akibat serangan itu dianggap karena kegagalan Netanyahu dalam mengelola keamanan wilayahnya.
Kini, ketidakpercayaan publik berkali-kali lipat kala oposisi mengkapitalisasinya menjadi upaya penggulingan melalui parlemen.
Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu dianggap sebagai kegagalan sistem keamanan di bawah kepemimpinan Netanyahu.
Aljazeera melaporkan, 94 persen warga Israel menilai Netanyahu bersalah dan harus mundur setelah perang dengan Hamas usai.
Terlebih, kepercayaan penduduk Israel pudar karena melihat tidak adanya kesungguhan Netanyahu untuk membebeaskan 200 orang yang disandra Hamas di Gaza, Palestina.
Upaya pembebasan sandra mentok di kompromi akan permintaan gencatan senjata.
Netanyahu menolak tawaran kelompok-kelompok di Palestina untuk gencatan senjata selama tiga hari dengan balasan pembebeasan 50 warga Israel.
Zachary Lockman, pakar Palestina dan Israel di Universitas New York, mengatakan kepada Aljazeera pada Sabtu (18/11/2023), Amerika memang mendukung Netanyahu soal penolakan gencatan senjata.
Namun tekanan dari belahan dunia lain, termasuk Eropa begitu besar.
"Permintaan untuk gencatan senjata meningkat di Amerika Serikat, tetapi [juga] di Eropa dan negara-negara lain," kata Lockman.
Di Ujung Tanduk
Jejak pendapat yang dirilis Al-Monitor menunjukkan popularitas Netanyahu di titik nadir, hanya 4 persen.
Di mata warganya, Netanyahu dengan segala kebijakannya termasuk soal keamanan yang bisa dijebol lawan itu, sudah sudah tidak becus.
Tak hanya lawan politik, sekutu lamanya pun kini bersuara agar Netanyahu segera turun dari tahtanya.
Khaled Elgindy, pakar urusan Palestina-Israel di Middle East Institute di Washington, sampai menyebut Netanyahu membuat keamanan intelijen Israel melakukan kegagalan terbesar sepanjang sejarah.
Hal itu langsung berimplikasi pada popularitasnya di mata publik yang benar-benar rentan.
"Dia sangat rentan, lebih dari yang pernah dia alami dalam karir politiknya mengingat dia memimpin kegagalan keamanan intelijen terbesar dalam sejarah Israel," kata Elgindy.
Elite Partai Frustasi
Netannyahu bukan saja orang nomor satu di pemerintahan Israel saat ini, ia juga pemimpin partai terbesar, Likud.
Elite Partai Likud mulai frustasi akibat ulah Netanyahu.
Tidak sedikit yang memutuskan keluar dari partai yang memiliki jumlah anggota mayoritas di parlemen itu.
Bahkan, Tamir Idan, Ketua Dewan Regional Sdot Negev, sebuah daerah di Distrik Israel Selatan, merobek kartu keanggotaan Likud miliknya di siaran langsung televisi.
Ia mengaku frustrasi dengan kurangnya dukungan dari pemerintahan Netanyahu.
"Pemerintahan ini tidak berfungsi," kata Idan kepada Times of Israel.
Oposisi Bergerak
Di sisi lain, Netanyahu juga memiliki musuh politik yang mulai bergerak.
Salah satu penentangnya adalah Yair Lapid,
Ketua Partai Yesh Atid itu membuat parlemen terbelah demi menggalang penggulingan Netanyahu.
Dia berbicara lantang bahwa Netanyahu harus turun dari tahtanya sekarang.
Sosok yang kini menjadi pemimpin oposisi itu menilai Israel harus dipimpin orang baru.
“Israel telah kehilangan kepercayaan pada perdana menteri,” kata Lapid kepada jaringan Israel Channel 12, dikutip dari New York Times, Rabu (15/11/2023).
“Kami tidak bisa membiarkan diri kami perang berkepanjangan dengan perdana menteri yang tidak dipercaya oleh masyarakat.”
Netanyahu “Harus pergi sekarang,” tegas Lapid.
Yair meyakini, dari 120 anggota Knesset (parlemen), 90 di antaranya akan mengikuti langkahnya.
Menurut Yair, pengganti Netanyahu harus dari partai Likud.
Sumber: Tribunnews