GELORA.CO - Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mencopot Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, dinilai hanya permainan dari elite.
Sebab, pelanggaran etik berat yang dilakukan Anwar Usman terkait perkara 90 dinilai layak untuk diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
"Saya sebagai mahasiswa jurusan ilmu politik tidak sulit menebak permainan ini," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Rifqi Adyatma, dalam keterangan yang diterima, Kamis (9/11/2023).
Rifqi menyebut, para hakim MK harus mempertanggungjawabkan terhadap semua yang sudah diputuskan.
Hal itu agar generasi muda tetap memiliki mimpi dan harapan di masa depan.
"Jujur saja, pasca-putusan MK beberapa waktu lalu, saya yang tadinya punya harapan besar akan masa depan seketika harapan itu hilang. Kami yang setiap harinya berkutat dengan buku, berdiskusi soal negara dan demokrasi sampai pagi, tiba-tiba kalah sama anak yang hanya bermodalkan privelege dan relasi kekuasaan," ujarnya.
Rifqi juga menyinggung etika politik dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal cawapres melalui proses hukum yang terbukti bermasalah secara etik. Hal ini menjadi contoh tidak baik bagi anak muda.
"Majunya Gibran bukan representasi anak muda, tapi karena punya privelege. Kami anak muda yang bapaknya bukan pejabat, tidak punya privelege apapun bisa apa?" tandasnya.
Dia menegaskan, BEM UPN Veteran Jakarta selaku motor penggerak mahasiswa di DKI Jakarta akan terus mengawal masalah ini hingga tuntas.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.
Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," ucapnya.
"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Sumber: Tribunnews