Politisi Senior PDIP Menganggap Jokowi Layak Disebut sebagai 'King of Big Liar'

Politisi Senior PDIP Menganggap Jokowi Layak Disebut sebagai 'King of Big Liar'

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University Rokhmin Dahuri menganggap demokrasi Indonesia yang belum pada tahap malah jadi memburuk setelah muncul sebuah keputusan kontroversial dari Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa waktu lalu.

Politikus senior PDI Perjuangan itu, bahkan menganggap putusan MK tersebut kental bernuansa drama, karena memaksakan kehendak. 

"Demokrasi sejak reformasi ini baru tahap prosedural belum substansi, sekarang lebih parah lagi terutama dengan drama Korea yang terjadi di MK. Kita tahu semua bahwa itu adalah pemaksaan kehendak," tegas Rokhmin saat membuka diskusi bertema Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11). 

Adapun, tokoh yang hadir dalam diskusi ialah para pakar hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar atau Uceng, dan Refly Harun. 

Rokhmin mengaku terkesan dengan langkah para tokoh demi mewujudkan demokrasi di Indonesia ke arah positif setelah muncul putusan bernuansa drama dari MK.

Semisal, kata dia, Uceng hingga Romo Magnis membuat tulisan di media massa nasional yang mengkritisi putusan MK.

Dia, bahkan mengaku ikut mengikuti pernyataan budayawan Goenawan Mohamad dalam wawancara dengan Rosiana Silalahi di sebuah stasiun televisi.

Dari hasil wawancara itu, Rokhmin menganggap penyematan BEM UI pada 2022 lalu kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) soal king of lipservice memang benar adanya.

"Saya menjadi yakin betul bahwa kawan kita ini benar-benar seperti disematkan BEM UI tahun lalu, bahwa he is king of lipservice atau king of big liar," tuturnya.

Toh, kata Rokhmin, Jokowi pada akhirnya hanya mengungkap janji manis kepada para bakal capres ketika kepala negara akan berlaku netral pada Pilpres 2024.

"Jadi, janji manis waktu mengumpulkan tiga capres, ya, kan, di Istana Negara bahwa dia akan berlaku netral, pada pelaksanaannya, malam hari sudah dia mengingkari dengan Wamendes mengumpulkan apa namanya gerakan politik. Jadi, saya kira negara ini terlalu mahal, rakyat kita terlalu kasihan untuk jatuh miskin kalau dipimpin pembohong," kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.

Rokhmin mengatakan pekerjaan rumah kepala negara di sektor ekonomi dan teknologi masih banyak ketimbang mengurusi perpolitikan.

Rokhmin menyatakan perkembangan teknologi di Indonesia membuat tanah air hanya dipandang sebagai negara kelas tiga.

"Teknologi kita pun masih kelas tiga. Artinya suatu bangsa kebutuhan teknologi lebih dari 70 persen impor. Kalau negara maju atau teknologi inovator country, itu lebih dari 70 persen teknologi diproduksi negara sendiri," katanya.

Kemudian, kata Rokhmin, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sesuai target yang seharusnya mencapai sekitar 8 persen.

"Jadi sejak zaman SBY sampai 2019 kita hanya tumbuh 5 persen, menurut ekonom ini parah. Potensi Indonesia seharusnya 8 persen," dia menambahkan.

Selain itu, kata Rokhmin, jurang kesenjangan di Indonesia begitu lebar antara si kaya dan miskin dan membuat negara menjadi terburuk ketiga.

"Ini kesenjangan Indonesia dalam kaya dan miskin terburuk ketiga di dunia. Di mana satu persen orang terkayanya menguasai 46 persen kekayaan negara," kata dia.

Sumber: gesuri
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita