GELORA.CO – Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengomentari tudingan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah cerminan neo-Orde Baru.
Tudingan itu disampaikan oleh Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat beberapa waktu lalu.
Airlangga menanggapinya dengan santai dan menyebut sekarang sudah zaman reformasi, bukan lagi zaman Orde Baru.
“Sekarang sudah zaman reformasi. Jadi, itu kita tidak back to the future. Terima kasih,” kata Airlangga di Istana sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, Senin (6/11/2023), dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra juga buka suara atas tudingan itu.
Habiburokhman meresponsnya dengan bertanya tentang neo-Orde Baru yang dimaksud oleh PDIP.
"Saya enggak tahu apa yang dimaksud neo-Orde Baru, apakah dalam konteks positif atau negatif," kata Habiburokhman selepas acara silaturahmi parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Jakarta, Minggu (5/10/2023).
Dia menyebut pada masa Orde Baru juga terdapat hal-hal positif.
"Ya kalau dalam konteks positif, mungkin saja ya di Orde Baru baru ada hal-hal positif juga, begitu juga di Orde Lama, begitu juga di Orde Reformasi," ujar dia.
Kemudian, elite Gerindra itu berujar pihaknya tidak melakukan kampanye negatif.
Menurut dia kampanye negatif justru menunjukkan pasangan calon tidak percaya diri dalam menunjukkan visi dan misi yang bisa mengambil hati rakyat.
"Politik kami adalah politik merangkul, politik senyumin aja. Silakan Pak Djarot bilang begitu. Pak Prabowo akan tersenyum saja. Kalau perlu, Pak Prabowo akan jogetin," ujarnya menambahkan.
Tudingan Djarot
Sebelumnya, Djarot menuding pasangan Prabowo dan Gibran sebagai cerminan neo-Orde Baru masa sekarang.
Djarot meminta seluruh partai politik pendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD untuk bersatu menghadapi mereka berdua.
"Terus bergerak, Ganjar-Mahfud MD pastikan akan terus perkuat demokrasi. Bersama kita hadapi Prabowo-Gibran sebagai cerminan Neo-Orde Baru masa kini," ujar Djarot lewat keterangannya, Sabtu (4/11/2023).
Dia berkata bahwa kemenangan dimulai dari rakyat yang memfokuskan pergerakan di akar rumput atau lingkup paling bawah.
Djarot turut menyinggung kasus penurunan baliho Ganjar-Mahfud di Bali saat kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.
"Rakyat bereaksi keras atas mobilisasi aparat dengan melakukan penurunan bendera, baliho, dan berbagai atribut dukungan terhadap Ganjar-Mahfud MD," ujarnya.
Di samping itu, dia menyindir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres dan cawapres yang membuka jalan bagi Gibran untuk menjadi cawapres.
Djarot menyebut spiritualitas bangsa Indonesia mengajarkan bahwa tak ada tempat untuk pihak yang memiliki ambisi kekuasaan dan cinta terhadap keponakan hingga MK pun dikebiri.
"Kini kekuatan moral lahir kembali. Inilah fondasi terpenting Ganjar-Mahfud MD, kokoh pada moral kebenaran dan berdedikasi total pada rakyat, bangsa, dan negara, bukan pada keluarga," kata Djarot.
Saat ini Majelis Kehormatan MK (MKMK) tengah mengusut kasus dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi.
Djarot mengatakan PDIP percaya kepada integritas majelis itu. Kata dia, lembaga itu mengedepankan sikap kenegarawanan.
Tudingan intervensi
Beberapa waktu lalu Djarot juga menuding pemerintah melakukan intervensi atau menekan partai politik agar bisa membuka peluang Gibran menjadi cawapres.
Tudingan itu disampaikan Djarot dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (1/11/2023).
"Katanya, pemerintah tidak intervensi," kata Djarot.
"Memang intervensi?" tanya jurnalis Budiman Tanuredjo yang menjadi pembawa acara.
"Bukti-bukti menunjukkan seperti itu," jawab Djarot.
Politikus PDIP itu menduga pemerintah menggunakan instrumen negara untuk menekan ketua umum parpol.
Akan tetapi, dia tak menyebutkan siapa ketua umum yang dimaksudnya.
Dia juga menyinggung sosok "Pak Lurah" yang dianggapnya melakukan intervensi.
"Dari apa yang saya baca misalnya, seorang Mensesneg menjadi kepanjangan tangan dari Pak Lurah untuk bisa melobi menekan ketum ketum partai. Ini terjadi," katanya.
Sumber: Tribunnews