PDIP Stop Baper, Urusan Baliho Terlalu Kecil!

PDIP Stop Baper, Urusan Baliho Terlalu Kecil!

Gelora News
facebook twitter whatsapp
 

OLEH: SUTRISNO PANGARIBUAN*
BELAKANGAN ini muncul reaksi berlebihan para elite PDIP, baik DPP maupun anggota DPR RI. Terutama pasca ditinggal kader "istimewa" putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), maju sebagai bakal cawapres. Elite PDIP tiba-tiba menjadi "sadar kamera dan mikrofon", sebagai narasumber utama dari berita terkait manuver politik Jokowi dan keluarganya.

Para elite PDIP membeberkan jasa politik kepada keluarga Jokowi. Mereka dengan wajah sedih curhat di depan kamera wartawan. Namun hingga kini, PDIP sama sekali tidak berani memecat Gibran dan Bobby.
 



Dalam menegakkan aturan partai, PDIP bertindak diskriminatif saat dengan tegas memecat orang biasa: Rustriningsih, Rudolf Pardede, Akhyar Nasution, Murad Ismail.

Mereka semua dipecat hanya karena maju sebagai calon kepala daerah melawan calon PDIP. Sementara Murad Ismail dipecat, hanya karena istrinya maju sebagai caleg DPR RI dari partai lain. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa keraguan, tanpa himbauan etis moral, mereka semua dipecat.
 
Terbaru adalah reaksi elite PDIP, terkait penertiban sejumlah baliho Ganjar-Mahfud di Bali. Penertiban tersebut atas perintah Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya kepada Kepala Satpol PP Bali, Dewa Nyoman Rai Dharmadi.

Berdasarkan perintah tersebut, Satpol PP Bali melakukan penertiban dengan alasan estetika. Satpol PP Bali mengklaim bahwa baliho dari semua Parpol dan Capres/ Cawapres ditertibkan. Penertiban baliho tersebut dilakukan di lokasi kegiatan Presiden Jokowi.
 
Penertiban baliho tersebut harus dilihat secara jernih, sehingga tidak perlu gaduh hanya karena baliho.
 
Urusan penertiban baliho Ganjar-Mahfud atas perintah Pj Gubernur Bali sebaiknya diurus DPD PDIP Bali dan Anggota DPRD Bali. Terlalu besar energi yang dikeluarkan oleh DPP PDIP dan Anggota DPR RI untuk mengurusi baliho.
 
Sebagai partai politik yang lahir di masa orde baru, PDIP seharusnya sudah matang menghadapi apa pun, apalagi soal baliho diturunkan. Itu perkara kecil dan elite PDIP tidak perlu reaktif.
 
PDIP harus menjadi pelopor dari kampanye positif dengan mematuhi seluruh aturan pemasangan alat peraga dan bahan kampanye. Tidak perlu memasang alat peraga dan bahan kampanye di lokasi yang mengganggu kepentingan publik.
 
Kemenangan dalam Pemilu tidak ditentukan oleh jumlah baliho dan reaksi terhadap baliho yang ditertibkan. Ganjar-Mahfud akan memenangi Pilpres, jika PDIP mampu meyakinkan rakyat bahwa Ganjar-Mahfud sebagai pasangan calon orang biasa, bukan anak, menantu, cucu presiden, bukan cucu pahlawan nasional.

Hanya pasangan calon orang biasa yang mampu memahami kebutuhan dan kepentingan orang biasa.
 
Pj Gubernur Bali tidak memiliki kewenangan menertibkan baliho di lokasi yang bukan kewenangannya. Ia hanya dapat menertibkan baliho di jalan provinsi atau di lokasi yang merupakan kewenangan provinsi.

Penertiban baliho menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Maka, reaksi berlebihan Pj Gubernur Bali sebagai respons atas arahan Presiden Jokowi untuk tidak miring akhirnya diekspresikan kepada baliho.
 
Penertiban baliho Mahfud-Ganjar atas perintah Pj Gubernur melalui Satpol PP dibantu aparat TNI dan Polri adalah bentuk arogansi. Tindakan tersebut sebagai bagian dari abuse of power.

Jika Jokowi terganggu dengan baliho tersebut, maka Pj Gubernur dapat memerintahkan Kasatpol PP Bali melakukan koordinasi dengan Pemkab Gianyar untuk dikoordinasikan dengan PDIP, Tim Pemenangan Daerah, maupun relawan.
 
Di sisi lain, PDIP seharusnya tidak perlu marah karena baliho Ganjar-Mahfud ditertibkan, cukup bertekad bahwa Ganjar-Mahfud pasti akan menang. 

*(Penulis adalah Presidium GaMa Centre)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita