MKMK Tak Batalkan Putusan Perkara 90, Denny Indrayana Singgung Ketidaktegasan dan Ketidakadilan

MKMK Tak Batalkan Putusan Perkara 90, Denny Indrayana Singgung Ketidaktegasan dan Ketidakadilan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  - Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, memberikan komentar soal putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengenai dugaan pelanggaran kode etik, Selasa (7/11/2023).

Pada putusan yang dibacakan kemarin, MKMK menyatakan tak bisa menganulir Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Menanggapi hal tersebut, Denny berpendapat bahwa MKMK tak menunjukkan ketegasannya padahal putusan dalam perkara nomor 90 sarat akan pelanggaran etika.


"Dengan berlindung pada asas final and binding, MKMK membiarkan Putusan 90 yang dinyatakan lahir dari berbagai pelanggaran etika hakim konstitusi Anwar Usman tetap berlaku dan tidak mempengaruhi proses pendaftaran Pilpres 2024," kata Denny sebagaimana dikutip oleh Tribunnews.com, Rabu (8/11/2023).


"Sambil secara tidak tegas, MKMK mengisyaratkan akan ada putusan atas permohonan baru terkait syarat umur capres-cawapres yang akan disidangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

Padahal kata Denny, setiap asas hukum bukanlah kitab suci yang mesti diberhalakan. Hukum, sambungnya, selalu membuka ruang pengecualian.

Jika MKMK tak bisa menyatakan putusan 90 tidak sah, menurutnya ada cara lain yang bisa ditempuh oleh Jimly Asshiddiqie dkk.

"Maka, jikapun tidak bisa menyatakan putusan 90 tidak sah, paling tidak MKMK menyatakan dengan tegas dalam amarnya, agar Mahkamah Konstitusi memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebelum berakhir masa penetapan paslon Pilpres 2024 oleh KPU," terangnya.

Bagaimanapun, menurut Denny, keputusan untuk membatalkan putusan nomor 90 itu sangat penting.


Ini supaya proses terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) tak terus dipersoalkan karena jalannya itu terbuka lewat putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika.


Baginya, menyatakan bahwa aturan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sudah final bukanlah hal yang fair (adil).

"Menyatakan pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai dan aturan syarat tidak boleh lagi diubah, adalah tidak fair," jelas Denny.

"Karena Putusan 90 sengaja dilakukan jauh terlambat, menjelang masa pendaftaran paslon."


"Maka, hanya menjadi fair, jika politisasi kelambatan waktu putusan 90 itu diseimbangkan dengan percepatan Putusan 90 tanpa hakim Anwar Usman yang melanggar etika," ungkapnya.

Sudah Final

Sebelumnya, Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa aturan batas usia capres-cawapres sudah final.

Hal itu telah ditetapkan MK lewat putusan 90/PUU-XXI/2023.

Jimly juga menambahkan, tahapan pencalonan Pilpres 2024 sudah berlangsung dengan tiga pasangan bakal capres dan cawapres.

Kini, hanya tinggal menunggu disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Menurutnya, jika ketentuan batas usia itu kembali diubah MK, maka putusannya akan berlaku untuk Pemilu 2029.

"Jadi kalau nanti ada perubahan lagi UU sebagaimana diajukan oleh mahasiswa itu, berlakunya nanti di 2029," kata Jimly di Gedung MK, Selasa (7/11/2023).

Sebagai informasi, MK menjadwalkan sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hari ini Rabu (8/11/2023).

Dalam sidang yang dijadwalkan pukul 13.30 WIB ini, beragendakan pemeriksaan pendahuluan I.

Gugatan dilayangkan oleh Brahma Aryana, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.

Dalam berkas permohonan uji materiil kepada MK, kuasa hukum Brahma, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah, menjelaskan bahwa kliennya berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa mendaftar capres-cawapres.

Brahma meminta agar aturan itu tidak berlaku bagi kepala daerah di bawah level provinsi, seperti kepala daerah kabupaten/kota.

“Terhadap Frasa: ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’, Sepanjang tidak dimaknai: ‘yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) terhadap UUD 1945,” demikian keterangan dari Viktor dan Harseto.


Sumber: Tribunnews
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita