Mengulas Sanksi RMK Energy, Aktivis Lingkungan: Ke Mana Penegak Hukum?

Mengulas Sanksi RMK Energy, Aktivis Lingkungan: Ke Mana Penegak Hukum?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pemberian sanksi atas pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT RMK Energy Tbk (RMKE), dimulai sejak Komisi IV DPRD Sumatera Selatan bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Sumsel menyegel dan menyetop operasional pelabuhan perusahaan di kawasan Muara Belida pada 22 Agustus 2023.

Saat itu penyegelan terkesan diacuhkan, karena dua jam setelahnya RMKE kembali beroperasi. DPRD Sumsel dan Dinas LHP Sumsel geram, hingga akhirnya Kementerian LHK turun tangan lewat Dirjen Gakkum dan kembali melakukan penyegelan atas aktifitas RMKE pada 14 September 2023.




Sesuai salinan SK Nomor 9253/MENLHK-PHLHK/PPSALHK/GKM.0/9/2023 tentang Penerapan Sanksi Administratif kepada PT RMK Energy Tbk, pada poin kedua, disebutkan pelanggaran dan/atau ketidaktaatan RMKE, yakni:

1. Ketidaksesuaian tata ruang di sebagian lokasi PT RMK Energy, Tbk., yang berada di dalam kawasan sempadan sungai dan kawasan pertanian pangan dan hortikultura sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016 s/d 2036;

2. Tidak memiliki Izin Pemanfaatan Ruang atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3. Persetujuan Lingkungan, berupa ketidaksesuaian lingkup kegiatan terminal khusus sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Muara Enim Nomor 15/KITS/DPMPTSP-4/IL/2020 tentang lzin Lingkungan Kegiatan Operasional Pelabuhan Khusus Batubara dan Fasilitas Pendukung Lainnya Kapasitas Bongkar Muat 25.000.000 ton per tahun, dengan luas lahan 45,16 Ha oleh PT RMK Energy Di Desa Tanjung Baru, Kecamatan Muara Belida, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan tertanggal 3 November 2020 dengan fakta lapangan yaitu PT RMK Energy, Tbk., melakukan kegiatan pelabuhan untuk kepentingan umum dan penggunaan jalan koridor milik PT Royaltama Mulia Kencana oleh PT RMK Energy, Tbk;

4. Pengendalian pencemaran udara, berupa:

a. melampaui baku mutu udara ambien untuk parameter Total Suspended Particulates, PM 10, dan PM2,5 di lokasi PT RMK Energy, Tbk. dengan titik koordinat 03°02'41,6" S dan 104°40'09,2" E berdasarkan Sertifikat Hasil Uji Nomor OSL2307102 yang dilakukan oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup melalui PT Organo Science Laboratory, sebagaimana diatur dalam lampiran VII Peraturan Pemerintah 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

b. tidak melakukan penyiraman batu bara yang disimpan dengan coal dust suppressant;

c. tidak memiliki standar operational procedure (SOP) dan sistem tanggap darurat pencemaran udara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 huruf b dan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 4/2014 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan; dan

d. tidak melakukan pemantauan mutu udara ambien pada lokasi pemantauan crusher dengan titik koordinat S: 03°01'12,4" dan E: 104°44'49,5" sebagaimana ketentuan dalam Pasal 63 huruf f angka 1 Peraturan Pemerintah 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5. Pengendalian pencemaran air, berupa:

a. tidak memiliki Surat Kelayakan Operasional (SLO) pembuangan air limbah ke Badan Air Permukaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 5/2021 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan;

b. ketidaksesuaian kondisi eksisting instalasi pengolahan air limbah PT RMK Energy, Tbk. dengan persetujuan teknis yang dimiliki sebagaimana ketentuan dalam huruf A nomor 3a terkait proses pengolahan air limbah terintegrasi, lampiran persetujuan teknis pemenuhan baku mutu air limbah yang dibuang ke badan air permukaan pada kegiatan pengangkutan dan penjualan batubara PT RMK Energy, Tbk.;

c. tidak melakukan pemantauan air limbah domestik sebagaimana ketentuan dalam ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;

d. hasil swapantau air limbah yang dilakukan oleh PT RMK Energy, Tbk. melebihi baku mutu untuk parameter mangan pada bulan Februari, Maret, April, dan Mei 2023 sebagaimana ketentuan dalam huruf A nomor 2 terkait baku mutu air limbah, lampiran persetujuan teknis pemenuhan baku mutu air limbah yang dibuang ke badan air permukaan pada kegiatan pengangkutan dan penjualan batubara PT RMK Energy, Tbk.;

e. tidak memasang alat pemantauan kualitas air limbah secara terus menerus di dalam jaringan bagi usaha dan/atau kegiatan (SPARING) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf j Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.93/Menlhk/Setjen/Kum.1 /8/2018 tentang Pemantauan Kualitas Air Limbah Secara Terus Menerus dan Dalam Jaringan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan dan angka 7 huruf I Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah yang Dibuang ke Badan Air Permukaan pada Kegiatan Pengangkutan dan Penjualan Batubara PT RMK Energy, Tbk.;

f. tidak menghitung beban pencemaran air limbah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.93/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018 tentang Pemantauan Kualitas Air Limbah Secara Terus Menerus dan Dalam Jaringan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan; dan

g. endapan lumpur dari hasil pengolahan limbah domestik maupun area kegiatan stockpile batubara tidak dimasukkan ke dalam drum dan disimpan di TPS limbah B3 sebagaimana ketentuan dalam Huruf A Nomor 3b terkait Pengelolaan Lumpur, Lampiran Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah yang Dibuang ke Badan Air Permukaan pada Kegiatan Pengangkutan dan Penjualan Batubara PT RMK Energy, Tbk.

6. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berupa tidak membuat laporan penggunaan bahan kimia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah 74/2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

7. Pengelolaan Limbah B3, berupa:

a. ketidaksesuaian dalam kode dan penanganan limbah B3 yang dihasilkan; dan

b. penempatan drum kemasan limbah B3 tidak sesuai ketentuan dalam Pasal 71 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 6/2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Sementara poin ketiga dalam SK itu juga disebutkan sanksi paksaan pemerintah yang harus dilakukan oleh RMKE, yang meliputi kegiatan:

1. Menghentikan sementara usaha dan/atau kegiatan dalam waktu 3x24 jam.

2. Mengajukan dan memiliki Izin Pemanfaatan Ruang atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) kepada instansi terkait paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

3. Persetujuan lingkungan berupa mengajukan dan memiliki perubahan persetujuan lingkungan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.

4. Pengendalian pencemaran udara, berupa:

a. mengelola kualitas udara ambien di area stockpile dengan melakukan penyemprotan secara intensif setiap hari selama operasional usaha dan/atau kegiatan dengan menggunakan coal dust suppressant terhadap batubara yang disimpan paling lama 14 (empat belas) hari;

b. membuat SOP dan sistem tanggap darurat pencemaran udara paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan

c. melakukan pemantauan mutu udara ambien setiap 6 (enam) bulan sekali dengan menggunakan laboratorium eksternal yang terakreditasi dan/atau teregistrasi paling lama 30 (tiga puluh) hari.

5. Pengendalian pencemaran air, berupa:

a. mengajukan dan memiliki SLO pembuangan air limbah ke Badan Air Permukaan kepada Direktorat Pengendalian Pencemaran Air KLHK paling lama 60 (enam puluh) hari

b. memperbaiki dan memiliki instalasi pengolahan air limbah yang sesuai dengan persetujuan teknis paling lama 60 (enam puluh) hari;

c. melakukan pemantauan air limbah domestik setiap bulan sekali dan melaporkan hasil pemantauan secara berkala kepada instansi lingkungan hidup paling lama 30 (tiga puluh) hari;

d. melakukan perbaikan dan optimalisasi kinerja instalasi pengolah air limbah sehingga air limbah yang akan dibuang memenuhi baku mutu paling lama 60 (enam puluh) hari;

e. memiliki unit pengolahan dan saluran air limbah yang kedap air paling lama 60 (enam puluh) hari;

f. memasang alat pemantauan kualitas air limbah secara terus menerus di dalam jaringan bagi usaha dan/atau kegiatan (SPARING) paling lama 60 (enam puluh) hari;

g. menghitung beban pencemaran air limbah dan menyampaikan hasil perhitungan kepada instansi lingkungan hidup paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan

h. memisahkan endapan lumpur dari instalasi IPAL dan kegiatan stockpile dan mengelola sesuai persetujuan lingkungan paling lama 60 (enam puluh) hari.

6. melakukan pengelolaan B3 dengan membuat laporan penggunaan bahan kinda secara berkala dan menyampaikan laporan kepada instansi lingkungan hidup paling lama 7 (tujuh) hari; dan

7. melakukan kewajiban pengelolaan Limbah B3 berupa:

a. mengidentifikasi limbah B3 yang dihasilkan dan memberikan kode sesuai dengan ketentuan paling lama 7 (tujuh) hari; dan

b. menempatkan drum kemasan limbah B3 sesuai ketentuan paling lama 1 (satu) hari.

Pada poin keempat, disebutkan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaporkan secara tertulis setiap penyelesaian pelaksanaan sanksi administratif paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan tembusan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muara Enim.

Lalu, pada poin kelima ditegaskan, dalam hal sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam diktum ketiga dan diktum keempat tidak dilaksanakan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dikenakan pemberatan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mempertanyakan Ketegasan Aparat Penegak Hukum

Sorotan terhadap sanksi ini muncul dari Ketua Kawali Sumsel, Chandra Anugerah yang selama ini konsisten mengawal dan mengadvokasi permasalahan lingkungan di Sumsel.

Membaca sanksi tersebut, menurutnya, selama ini sanksi hukum administrasi paksaan pemerintah memang yang paling banyak digunakan selain pencabutan izin usaha apabila tidak diindahkan.

Namun, menurutnya hal itu tidak menutup celah bagi perusahaan untuk dijerat pidana lingkungan hidup, yang kemudian menjadi domain aparat penegak hukum.

"Kepolisian punya kewenangan untuk menindaklanjuti temuan atau laporan masyarakat, melakukan penyelidikan bahkan menjerat korporasi perusak lingkungan ini dengan payung hukum yang sudah dimiliki," ungkap Chandra dikutip Kantor Berita RMOLSumsel, Rabu (1/11).

Sebagai contoh, kata Chandra, PT Musi Prima Coal yang juga beroperasi di kawasan Muara Enim lewat kontraktornya PT Lematang Coal Lestari sudah divonis oleh PN Muara Enim karena terbukti melanggar lingkungan pada Mei 2023 lalu.

Permasalahan lingkungan dalam operasional perusahaan tersebut, juga terjadi secara berulang, tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh RMKE, mencemari masyarakat dan lingkungan sekitar.

"Sanksi dari Kementerian LHK itu buktinya. Seiring peningkatan produksi, pelanggaran dan pencemaran ini akan semakin besar dan luas dampaknya. Makanya harus ada efek jera di luar itu (sanksi paksaan pemerintah). Lalu APH (Aparat Penegak Hukum) ini ke mana aja?" herannya.

Disampaikan Chandra lagi, Sumsel dianugerahi dengan sumber daya alam yang luar biasa, untuk dikelola dan dijaga dengan baik. Bukan hanya dikeruk dan dimanfaatkan dengan dalih investasi, yang justru merugikan masa depan dan kesejahteraan masyarakat.

Tanggung jawab untuk menjaga dan memastikan pengelolaan yang baik dalam kerangka keberlanjutan, menurut Chandra, bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat, aktivis lingkungan, dan media. Tetapi juga regulator dan APH, dalam hal ini Polda Sumsel.

Sehingga, kata Chandra lagi, wajar jika dalam kasus pelanggaran lingkungan ini, rapor merah diberikan kepada APH karena dinilainya tidak mampu memberikan kepastian hukum terhadap para perusak lingkungan yang sifatnya korporasi.

Bahkan lebih jauh, Chandra melihat beda perlakuan yang dilakukan oleh APH bagi pelanggar atau perusak lingkungan yang sifatnya individu ataupun korporasi.

"Tidak hanya RMK (Energy), kami menyoroti pula permasalahan Karhutla, yang nampak betul perbedaan penanganannya antara masyarakat dan korporasi," ketusnya.

"Jadi kami terpanggil untuk memberi rapor merah pada Polda Sumsel atas penanganan permasalahan lingkungan di Sumsel ini," demikian Chandra.

Sumber: RMOL
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita