GELORA.CO - Presiden Jokowi kembali menekankan soal banyaknya potensi yang dimiliki Indonesia, dari mulai sumber daya alam hingga sumber daya manusia. Hal tersebut menurut dia menjadi sebuah kekuatan besar bangsa Indonesia.
Salah satunya adalah nikel. Dia mengatakan ingin Indonesia memiliki produk besar yang bisa masuk dalam rantai pasok global, yakni ekosistem Electric Vehicle (EV).
Namun, dia mengaku ada tantangan yang cukup sulit, yakni mengintegrasikannya. Misalnya nikel yang banyak dimiliki di Sulawesi, bauksit di Bintan, Kalimantan Barat, kemudian dintegrasikan dengan tembaga yang ada di Papua dan Nusa Tenggara Barat.
"Yang paling efisien itu diletakkan di mana kalau kita ingin membuat pabriknya? Seperti dulu memutuskan Freeport membangun smelter di Gresik atau Papua. Saya minta di papua saat itu, tapi dihitung berat listriknya dari mana, akhirnya diputuskan di Gresik. Inilah, karena negara seluas ini mengintegrasikan barang sulit, mengkonsolidasikan barang yang sulit," kata Jokowi dalam sambutannya di acara Kompas 100 CEO Forum di Kawasan IKN, Kamis (2/11).
Jokowi mengatakan untuk membangun ekosistem yang terintegrasi tersebut tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Perlu dukungan berbagai pihak, terutama pada investor dan pelaku usaha.
"Saya membayangkan bahwa kalau kita bisa mengintegrasikan tadi, lompatan itu akan terjadi dari negara yang kategorinya negara berkembang, masuk ke negara maju," katanya.
Menurut dia, kesempatan melompat dari negara berkembang menjadi negara maju tersebut ada dalam 3 kepemimpinan nasional ke depan. Hal itu juga menurut Jokowi yang sering disampaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan OECD.
"Saya suruh ngitung lagi Bappenas, kesempatan itu ada, peluang itu ada, opportunity itu ada, tapi tantangannya juga tidak gampang, tantangannya juga tidak ringan. Butuh konsistensi, butuh keberlanjutan," ujarnya.
Menurut dia, di Indonesia selama ini kebijakan selalu berubah setiap ada pergantian kepemimpinan nasional. Hal tersebut membuat program kerap kembali dikerjakan dari nol.
"Dari yang saya pelajari dari kepemimpinan-kepemimpinan kita, selalu sudah sampai SMP, ganti pemimpin balik lagi ke TK, balik lagi ke SD lagi. Sehingga selalu dimulai dari nol. Kayak kita beli bensin di pompa bensin. pak dari nol pak. pak sudah nol pak. Apa kita mau seperti itu terus? Gak bisa," ujarnya.
Sumber: kumparan