Jangan Berharap Jokowi Bersikap Netral

Jangan Berharap Jokowi Bersikap Netral

Gelora News
facebook twitter whatsapp


 OLEH: YARIFAI MAPPEATY*
ANIES, Prabowo, dan Ganjar, Bacapres 2024, telah makan siang bareng di istana bersama Presiden Jokowi. Suatu kabar baik. Setidaknya, Jokowi melanjutkan tradisi positif yang diwariskan SBY pada Pilpres 2014.

Secara simbolik, Jokowi bermaksud mengungkapkan bahwa ia akan bersikap netral pada Pilpres 2024.




Tetapi, apakah dengan begitu kita lantas percaya bahwa Jokowi benar-benar akan bersikap netral? Rasa-rasanya sulit. Sebab bagaimana mau percaya, sedangkan Jokowi sendiri sejak jauh-jauh hari sudah menskenariokan “all the president’s men”, seperti diungkapkan oleh Romahurmuziy pada Tvonenews.com, 1 Mei 2023.

Melalui skenario itu, Jokowi menghendaki semua Capres yang bakal muncul adalah orangnya. Sehingga siapa pun yang kemudian terpilih menjadi presiden, juga adalah orangnya. Rommy, begitu mantan Ketua Umum DPP PPP itu dipanggil, kurang lebih menyebutnya sebagai Capres boneka.

Ada banyak spekulasi yang berkembang terkait hal itu. Namun yang paling mengemuka adalah bahwa agar legacy yang bakal ditinggalkan Jokowi dapat berkelanjutan. Kedengarannya “indah” memang, tapi sebenarnya sumir, sebab setiap generasi adalah milik zamannya. Kelak mau diapakan negara ini, tergantung kebutuhan mereka.

Lagipula, jika memang itu alasannya, mengapa tidak memilih tetap bersama Megawati dan PDIP untuk mendukung Ganjar Pranowo? Padahal, memang kurang apa PDIP mendukung kebijakan Jokowi selama ini sehingga harus pindah ke lain hati?

Oleh karena itu, penulis malah lebih condong pada pendapat yang tak kalah spekulatifnya, bahwa sebenarnya, Jokowi cawe-cawe karena demi kebutuhan pribadi dan keluarganya pasca lengser dari kekuasaan. Yaitu, kebutuhan akan rasa aman dan nyaman.

Mungkin Jokowi merasa bahwa kebutuhan akan kedua hal itu tidak didapatkan jika tetap bersama dengan PDIP. Atau paling tidak PDIP dapat memberinya rasa aman, namun tetap saja tidak bisa mendapatkan rasa nyaman, karena statusnya terlanjur sebagai petugas partai.

Bahkan sebetulnya, ide membangun dinasti, boleh jadi justeru lahir dari tuntutan akan kebutuhan tersebut. Faktanya, kita pun menyaksikan pada periode kedua Jokowi menjabat presiden, Gibran sang pangeran menjadi Walikota Solo, dan Bobby sang menantu menjadi Walikota Medan, begitu mudahnya.

Lalu, sembari menunggu mereka matang, tentu saja melalui proses pematangan yang dipercepat, wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode pun digulirkan. Jika itu berhasil, maka Gibran, khususnya, sudah 42 tahun pada 2029, sudah melampaui syarat batas minimal usia Capres dan Cawapres.

Akan tetapi, menyadari wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode menemui jalan buntu, terutama karena ditolak oleh PDIP, maka rencana B pun dijalankan. Yaitu, skenario all the president’s men.

Siapa pun Bacapresnya, tetap saja Gibran didorong menjadi Bacawapres sebagai jaminan bagi Jokowi untuk memenuhi kebutuhan aman dan nyaman pasca lengser.

Masalahnya, sang pangeran belum cukup umur. Ah, itu bukan masalah. Solusinya adalah judicial review terhadap Undang-undang yang mengatur batasan minimum usia Bacawapres di Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi di sana sudah ada Paman Anwar menanti. Bahkan boleh jadi posisi Anwar Usman selaku Ketua MK, sebenarnya, juga bukan suatu kebetulan.

Untuk memastikan skenario itu berjalan sesuai yang diharapkan, menurut pengakuan Jokowi sendiri, semua Parpol yang memiliki hak untuk mengusung Bacapres, diinteli, menggunakan badan intelijen negara. Para ketua umum Parpol yang pada dasarnya sudah tersandera oleh kasus hukum, pun dibuatnya tak berkutik.

Tindakan Jokowi menginteli Parpol itu lantas mengingatkan kita pada skandal penyadapan yang dilakukan oleh Richard Nixon terhadap lawan politiknya. Meskipun Presiden Amerika Serikat itu tidak menggunakan intelijen negara, namun tindakan tersebut tetap dinilai sebagai kejahatan politik, yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi Nixon meletakkan jabatannya.

Skandal itu kemudian dikenal sebagai “Watergate”, dan telah diangkat ke layar lebar dengan judul “All the president’s men”. Film yang dirilis pada 1976 itu, dibuat berdasarkan novel “All the president’s men” karya Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua orang jurnalis Washington Post yang berhasil membongkar skandal Watergate tersebut. 

Sekalipun Jokowi bukan Nixon, tetapi skenario all the president’s men Jokowi tetap saja berantakan di tengah jalan, lantaran Partai Nasdem "mbalelo” mengusung Anies Baswedan sebagai Bacapres. Lalu Ganjar Pranowo yang semula ditenteng Jokowi, tiba-tiba di-take over oleh Megawati, untuk kemudian dijadikan sebagai Bacapres PDIP.

Namun, kehilangan Ganjar tak lantas membuat langkah Jokowi terhenti. Tidak ada Ganjar, masih ada Prabowo. Kita pun kemudian menyaksikan cawe-cawe Jokowi demikian masif meng-endorse Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Ketua Umum Partai Golkar dan PAN pun dibuat tak berkutik, sehingga terpaksa menyerahkan dukungannya kepada Prabowo tanpa syarat.

Buktinya, Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang ketahuan membangun komunikasi secara diam-diam dengan Anies Baswedan, pun dipaksa balik kanan dengan kasus ekspor CPO. Sedangkan Anies dan Muhaimin beruntung bisa lolos dari upaya penjegalan sampai berhasil mendaftar di KPU, meski dengan tertatih-tatih.

Mengapa Jokowi lebih memilih Prabowo? Dibandingkan dengan Erick Thohir dan Airlangga, Prabowo dinilai lebih berpotensi memenangkan Pilpres. Dan, selain sebagai pemilik Partai Gerindra, mungkin juga Prabowo lebih mampu meyakinkan Jokowi bahwa dirinya berjanji akan memenuhi rasa aman dan nyaman yang dibutuhkan Jokowi dan keluarganya setelah lengser.

Apakah Jokowi percaya begitu saja? Tentu tidak. Untuk itulah Gibran dipaksakan menjadi Cawapres Prabowo sebagai pengikat, agar janji tak mudah diingkari. Sedangkan bagi Prabowo, dipasangkan dengan Gibran bukan soal, meskipun tak memiliki dampak elektoral yang signifikan. Tetapi jangan lupa, Gibran adalah putra Jokowi.

Bahkan, Prabowo yang amat terobsesi menjadi presiden, mendapat endorse Jokowi, seperti mendapatkan durian runtuh. Dan, boleh jadi memang itu yang diharapkan sehingga memilih menyerah untuk menjadi pembantu Jokowi. Padahal, tadinya ia adalah pemimpin utama oposisi dan rival sejati Jokowi.

Menyadari bahwa setelah keluar dari istana, harapan Jokowi hanya disandarkan pada Prabowo – Gibran, maka dengan segala kekuasaan yang masih ada di tangannya, apakah Jokowi hanya diam dan membiarkan Prabowo – Gibran, kalah?

Oleh karena itu, jangan berharap Jokowi akan bersikap netral. Tetapi, jangan juga mau Pilpres sampai dicurangi 

*(Penulis adalah pemerhati sosial politik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita