GELORA.CO - Calon Presiden dari PDIP Ganjar Pranowo menyoroti soal perang ekonomi antara China-Amerika Serikat dan posisi Indonesia di antara keduanya. Hal ini Ganjar sampaikan dalam acara “Pidato Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Stategis Politik Luar Negeri” pada Selasa (7/11/23) yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia.
Ganjar awalnya mendapat pertanyaan terkait anggapan Indonesia lebih condong berpihak ke China daripada Amerika Serikat di berbagai kesempatan seperti investasi, utang, dll.
“Rivalitas antara dua kekuatan adidaya, ada persepsi di luar atau bahkan di dalam negeri kalau Indonesia cenderung dekat dengan China karena kita semakin mengandalkan perdagangan dan investasi dari China. Saya ingin mendapatkan gambaran dari Pak Ganjar apakah ini benar atau harus diperbaiki dan langkah apa yang diambil jika Anda jadi presiden nanti,” demikian tanya Editor Senior The Jakarta Post Endy M. Bayuni selaku moderator kepada Ganjar.
Ganjar mengungkapkan Indonesia masih memegang arah kebijakan politik Luar Negeri ‘Bebas aktif” yang juga ia dorong untuk didefinisikan ulang sesuai perkembangan internasional yang ada. Makna “bebas” dalam kebijakan politik luar negeri menurut Ganjar bukan hanya sekadar bebas, tetapi perlu diterapkan untuk membuat langkah strategis dalam menyikapi berbagai hal.
Terkait dengan persaingan China-Amerika Serikat, Ganjar melihat hal lain yakni kemungkinan adanya kerja sama dua negara tersebut yang diinisiasi oleh Indonesia.
“Bagaimana dengan katakan perang ekonomi Amerika-Tiongkok, kenapa kita tidak mengajak Amerika juga bergabung? pada saat itu ada keuntungan sebenarnya yang bisa kita ambil karena beberapa produk saling tidak dibeli, kenapa kita tidak suplai sekalian? Bahkan bisa ke kedua negara itu,” jelasnya.
Menurut Ganjar kerja sama dua negara besar seperti China dan Amerika Serikat jika terjadi dan Indonesia bisa terlibat di dalamnya maka akan menguntungkan Indonesia juga ke depannya.
“Saya bisa mengundang negara lain di luar negara besar ini agar bekerja sama dengan Indonesia sehingga kita bisa lebih terbuka dan di antara kita saling untung. Jika itu terjadi maka kita bisa membuka peluang cukup luas,” tambahnya.
Ganjar juga mengungkapkan Indonesia tidak bisa bergantung pada satu neagra saja. Menurut Ganjar, perlu dilihat makna “bebas” dalam kebijakan politik Luar Negeri “Bebas Aktif” sebagai mencari langkah strategis Indonesia dalam menjalin kerja sama dengan negara lain.
Indonesia yang punya banyak negara sahabat juga menurut Ganjar perlu juga dijajaki kerja sama skala besar yang bisa saling menguntungkan.
“Apakah kita condong pada satu negara? Saya kira kita harus kembali pada politik luar negeri yang bebas aktif. Jadi kebebasan itu harus kebebasan strategis untuk bisa menentukan dengan siapa kita bekerja sama, kita tidak boleh bergantung pada satu negara,” jelas Ganjar.
“Kita punya sahabat negara yang cukup banyak, saya kira keadilan yang bisa kita berikan adalah pada kepentingan mana kita bisa bekerja sama dengan masing-masing negara itu,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS Indonesia Yose Rizal Damuri mengungkapkan pihaknya merasa perlu mengangkat isu kebijakan luar negeri ke masyarakat mengingat momen Pilpres sebentar lagi akan berlangsung.
“Kami merasa perlu mengangkat arah kebijakan isu internasional ke masyarakat terutama mengingat tahun depan akan terjadi peralihan kepemimpinan yang mungkin akan menentukan arah selanjutnya dari kebijakan luar negeri Indonesia,” ujar Yose dalam sambutannya.
“Acara ini saya pikir jadi acara pertama yang membahas isu kebijakan luar negeri,mudah-mudahan ini bisa berkontribusi kepada pemahaman lebih baik di mana masyarakat mendapat informasi yang fokus dan mendalam mengenai kebijakan luar negeri ke depannya,” tambahnya.
Sumber: wartaekonomi