GELORA.CO - - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyoroti soal para pegiat demokrasi yang menyoal atau menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan warga negara Indonesia yang berumur 40 tahun ke bawah untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
"Bahkan penolakan terhadap putusan MK yang membuka ruang partisipasi anak muda tersebut, keluar dari mulut orang orang yang notabene adalah pejuang demokrasi liberal paling radikal dan militan," ujar Salamuddin Daeng dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/11).
Dunia tentu saja bingung karena nilai dasar yang dianut dalam demokrasi ini adalah setiap orang yang memiliki hak memilih maka dia memiliki hak dipilih.
"Jikalau dia yang mencalonkan diri untuk dipilih tersebut dianggap tidak kompeten, kurang pengalaman, kurang hebat, kurang pantes, maka rakyat tidak akan memilihnya. Rakyat pemilih akan memilih yang lain bisa lehih tua atau bisa lebih muda," bebernya.
Karena itu, biarkan rakyat yang menilai dan mementukan, menurtnya, dunia demokrasi pasti menganggap aneh kalau anak muda dilarang atau dihalau agar tidak bisa mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai capres atau cawapres.
Sebab menurutnya, gebrakan politik menjebol ke atas yang dilakukan Gibran Ryang sekarang berumur 37 tahun, memang membuat asam lambung lawan politiknya kumat.
"Saking kesalnya penolakan bahkan disampaikan dengan cara cara mencela, mencibir, atau memperolok olok generasi muda, dengan mengatakan anak ingusan, bocah cilik dan berbagai olok olokan yang lain. Sementara di belahan dunia lain banyak sekali pemimpin muda yang hebat," ujarnya.
"Kehadiran Gibran Konon katanya akan membuat pemilu tidak akan berlangsung secara jurdil karena presiden akan memihak pada anaknya. Jadi ini sebenarnya bukan penolakan terhadap putusan MK. Mengaitkan putusan MK dengan kehadiran Gibran dalam kancah pertarungan RI 2 adalah salah kaprah! Tidak ada kaitanya secara hukum," ujarnya.
Sementara itu, adanya kekuatiran presiden Jokowi akan membangun dinasti jika Gibran terpilih, tampaknya ketakutan yang dibuat buat. Sebab, bagaimana mungkin presiden yang selalu dikatakan petugas partai akan membangun dinasti melalui anaknya.
"Dinasti kok mencalonkan diri, minta untuk dipilih, padahal belum tentu menang pula. Dinasti itu absolut kekuasaanya, bukan kekuasaan seorang presiden yang sering dibuli sebagai petugas partai. Kayaknya salah ini memilih istilah," pungkasnya.
Sumber: jawapos