GELORA.CO - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Selasa (7/11/2023), memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terbukti bersalah melanggar kode etik dan perilaku hakim MK. MKMK menjatuhkan pelanggaran berat untuk Anwar dan diberhentikan secara tidak hormat sebagai ketua MK.
Hal itu disampaikan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam agenda putusan kode etik dan perilaku hakim MK pada Selasa (7/11/2023) petang. Penyampaian keputusan itu berdasarkan hasil tiga anggota MKMK, yakni Jimly bersama dengan Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams.
"Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam ruangan rapat, Selasa.
Jimly menjelaskan, Anwar dinilai melanggar Sapta Karsa Hutama tentang prinsip ketidakberpikahan, prinsip integritas, kecakapan, independensi, dan kepantasan serta kesopanan. Putusan itu merupakan satu dari lima amar putusan yang disampaikan oleh Jimly.
"Kedua, menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi," ujar dia. Putusan itu langsung mendapat applause dari para audiens rapat.
Lalu, amar putusan yang ketiga yakni memerintahkan Wakil Ketua MK untuk dalam waktu 2 x 24 jam sejak putusan diucapkan memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai peraturan perundang-undangan.
"Empat, hakim terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan hakim terlapor berakhir," kata dia.
Kelima, Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR DPD dan DPRD serta pemilihan gubernur, bupati dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Putusan MKMK melahirkan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda. Anggota MKMK, Prof Bintan Saragih, menyatakan DO atas putusan ini. Sebab MKMK hanya menyatakan PTDH terhadap status Anwar sebagai Ketua MK. Dengan demikian, Anwar hanya turun kasta menjadi hakim MK biasa berkat putusan MKMK.
"Dalam membuat kesimpulan penentuan sanksi terhadap hakim Anwar Usman, kami berbeda sehingga saya harus memberikan dissenting opinion," kata Bintan dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (7/11/2023).
Bintan menjelaskan perbedaan pendapatnya disebabkan pola pikirnya sebagai akademisi. Bintan mengungkap sudah berkarier sebagai dosen selama puluhan tahun.
"Latar belakang saya sebagai akademisi hukum, saya konsisten sebagai akademisi, karena itu dalam memandang masalah selalu berdasarkan apa adanya," ujar Bintan.
Sehingga, Bintan tetap ingin menghukum Anwar Usman dengan PTDH sebagai hakim MK. Bintan mendukung pemecatan sepenuhnya Anwar dari MK.
"Itulah sebabnya dalam memberi putusan pada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi saya beri putusan sesuai aturan yang berlaku yaitu sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi," ujar Bintan.
Dasar argumentasi Bintan merujuk Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK nomor 1 tahun 2024 tentang MKMK. Bintan meyakini pelanggaran berat Anwar wajib diganjar pemecatan sepenuhnya dari MK.
"Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain," tegas Bintan.
Deretan pelaporan terhadap MK merupakan akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023).
Enam gugatan ditolak. Tapi, MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres ini tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.
Dalam sidang putusan MKMK yang sama, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra dinilai tidak melanggar kode etik dan perilaku hakim MK mengenai perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang disampaikan dalam putusan Perkara 90 soal batas usia capres-cawapres.
"Menimbang berdasarkan uraian dan fakta yang terungkap bahwa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK terkait dissenting opinion tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam agenda keputusan MKMK soal kode etik dan perilaku hakim MK di Gedung MK, Selasa.
Putusan itu dibacakan bersama dengan anggota MKMK lainnya, yakni Bintan S Saragih dan Wahiduddin Adams. Pembacaan keputusan itu menyikapi adanya laporan dari empat pemohon yang melaporkan Saldi Isra mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK.
Berdasarkan penjelasan keputusan MKMK, Jimly menyatakan telah membaca, mendengar, dan memeriksa keterangan dari hakim konstitusi terkait serta pihak saksi dalam laporan tersebut. Lantas MKMK melakukan pertimbangan hukum dan etika yang menjadi kewenangannya.
Permasalahan pelapor adalah apakah boleh suatu pendapat berbeda atau dissenting opinion yang kontra dari mayoritas keputusan hakim disusun secara provokatif, menjatuhkan kolega sesama hakim dan tidak koheren," jelas dia.
Menurut MKMK, pendapat berbeda atau dissenting opinion yang disampaikan oleh Saldi Isra tidaklah masalah sebagai bentuk kemerdekaan dalam berpendapat. Sehingga, isu atau masalah dugaan pelanggaran kode etik dianggap tidak relevan.
MKMK menemukan fakta hukum bahwa pendapat berbeda atau dissenting opinion dimuat paragraf 6.25 sampai 6.72.2 putusan Nomor 90, memuat aspek hukum acara tatkala menguraikan dinamika dan mekanisme pengambilan keputusan.
"MK menemukan fakta hukum bahwa ditulis bahasa penuh emosi, berdasarkan temuan fakta hukum menurut MKMK, Saldi Isra tidak dapat dikatakan melanggar kode etik disebabkan dissenting opinion. Ada ruang pada bagian awal pendapat berbeda yang mengungkapkan sisi emosional, tapi itu bukan pelanggaran kode etik," jelasnya.
Sumber: republika