GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa secara logika hukum, Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak sah.
Alasannya, kata Bivitri, karena putusan itu terbukti telah memberikan karpet merah kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi bakal cawapres.
Proses yang dihasilkan dalam putusan 90 sarat akan konflik kepentingan karena saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) diketuai oleh paman Gibran, yakni Anwar Usman.
Kini berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Anwar Usman juga telah dinyatakan bersalah dan melanggar kode etik dalam putusan tersebut.
"Harus dipertanyakan karena logika hukumnya, putusan 90 itu, ya, yang memberikan karpet merah untuk Gibran itu dihasilkan dari sebuah proses yang sekarang ini sudah nyata berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK bahwa prosesnya salah." kata Bivitri dikutip dari YouTube Kompas TV, Sabtu (11/11/2023).
"Jadi logika hukumnya, sebuah putusan yang dibuat dengan proses yang ternyata melanggar etik dan itu pelanggaran berat bahkan bisa membuat sebuah putusan tidak sah, maka logikanya putusan itu tidak sah," terangnya.
Namun, untuk bisa menyatakan bahwa putusan 90 keliru, diperlukan forum berikutnya di MK.
MK bisa menyidangkan kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Menurut Bivitri, dengan menyidangkan kembali, dapat diduga bahkan dipastikan putusannya akan berbeda dengan putusan 90.
"Cuma memang secara legal formal diperlukan forum berikutnya di MK sendiri, untuk menyatakan bahwa putusan itu keliru." sambungnya.
"Menyatakannya dengan tidak menyatakan putusan 90 itu keliru, tetapi dengan menyidangkan kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu mengenai syarat capres-cawapres itu."
"Jadi menyidangkan kembali, dan nanti putusannya bisa diduga bisa dipastikan bahkan akan berbeda dengan putusan 90," tuturnya.
Lebih lanjut, Bivitri menyatakan bahwa dengan cara itulah putusan 90 yang melanggar etik itu dikoreksi.
Jika tak dilakukan koreksi, menurutnya, sia-sia saja MKMK melakukan pemeriksaan kepada Anwar Usman.
"Nah, dengan cara itulah putusan 90 'dikoreksi'. Kalau tidak, tak ada gunanya kemarin MKMK sudah melakukan pemeriksaan kepada Anwar Usman," tegasnya.
Di sisi lain, akibat perbuatannya, Anwar Usman telah dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Namun, posisinya sebagai hakim konstitusi masih aman.
Beberapa pihak pun merasa tak puas dengan putusan yang dibacakan oleh MKMK itu, misalnya, Juru Bicara Maklumat Juanda sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid.
Ia mendesak supaya adik ipar Jokowi itu mundur dari posisinya sebagai hakim konstitusi.
Menurut Usman, Anwar telah kehilangan legitimasi etis sebagai hakim tidak diperbolehkan terlibat dalam perkara perselisihan hasil Pemilu 2024.
"Sesungguhnya ia telah kehilangan legitimasi etis untuk memeriksa atau mengadili perkara apa pun," kata Usman saat dihubungi awak media, Kamis (9/11/23).
Selain itu, Maklumat Juanda mendesak MK segera menyidangkan permohonan uji formil atas putusan MK Nomor 90 tahun 2023 dan permohonan uji materil pasal tentang batas usia yang telah mendapat tafsiran baru, yakni permohonan Nomor 141 tahun 2023.
"Persidangan ini harus berpijak dari putusan MKMK yang menyimpulkan adanya pelanggaran etik berat atas cara pengambilan putusan tersebut. Persidangan atas peninjauan putusan 90 harus dilakukan segera demi kepastian hukum penyelenggaraan Pilpres 2024," tegas Usman.
Usman menambahkan, Maklumat Juanda juga mendesak DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket demi menguak dugaan kuat adanya intervensi penyelenggaran negara di lembaga eksekutif atas lembaga yudikatif.
"MK adalah tempat yang harus dihormati bagi terpeliharanya konstitusi kita. Ia harus diisi orang-orang terhormat dan berintegritas moral yang tinggi. Tak ada tempat bagi orang-orang tercela," ucapnya.
Sumber: Tribunnews