Putusan MK Batas Usia Minimal Capres-Cawapres: Hipokrisi Demokrasi, Intrik Kekuasaan Dinasti

Putusan MK Batas Usia Minimal Capres-Cawapres: Hipokrisi Demokrasi, Intrik Kekuasaan Dinasti

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: DIAN FITRIANI*
KEJANGGALAN putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) tiada henti menuai kontroversi.

Rekomendasi yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 MK mengulas Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dalam hal ini dibuka kesempatan bagi capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu maju pada Pemilu 2024.
 



Kejanggalan ini disinyalir memberikan peluang besar bagi Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres. Meski begitu, tanggapan berlawanan datang dari Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, masyarakat tidak bisa membedakan mana keputusan politik mana keputusan hukum, gugatan terhadap putusan MK tersebut dinilai membuat malu Jokowi.

Ia justru menganggap bahwa ini sengaja dipolitisasi untuk menjatuhkan pihak tertentu. Namun bila ditelisik lebih jauh, setidaknya ada tiga kejanggalan mengenai keputusan MK yang terkesan mendadak dan sarat kepentingan politik.
 
Pertama, prosedur perubahan aturan mengenai batas usia minimal bacapres dan bacawapres tidak taat hukum, cacat prosedur, hingga tak berlandas pada kebutuhan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Mahfud MD yang mengatakan bahwa proses pengubahan aturan hanya dapat dilakukan lewat lembaga legislatif.

Namun lebih dari perkara prosedur, pertanyaan paling mendalam di perkara ini adalah, atas landasan apa aturan ini diubah? Bila bukan karena sebuah kepentingan kelompok tertentu, lantas apa?

Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams telah memperingatkan soal putusan pengabulan permohonan sebagai sebuah tindakan ”legislating or governing from the bench”, praktik yang dikenal secara umum sebagai tindakan tanpa didukung oleh alasan konstitusional memadai dalam batasan penilaian yang masuk akal.

Penulis menyebutnya dengan "pengkhianatan akal sehat". Adams dalam hal ini juga mempertegas kecamannya bahwa seharusnya MK dalam hal ini menolak permohonan.

Kedua, manifestasi dependensi MK. MK yang seharusnya berfungsi sebagai check and balances terkesan hanya menjadi alat politik presiden dan DPR.

Sekalipun jika prosedur ini sesuai bila melalui lembaga legislatif, namun cara MK acuh tak acuh pada partisipasi publik dinilai pengkhianatan fungsi yudikatif yang seharusnya independen tanpa intervensi intrik menjilat kekuasaan.

Meski begitu, Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay masih memandang bahwa ini hanya prasangka masyarakat saja dengan menafsirkan terlalu jauh terhadap putusan MK agar memecah fokus terhadap pelaksanaan pemilu yang jujur.
 
Namun bagi penulis, ini bukan sekadar prasangka atau bola panas menjelang pemilu, tapi ini sebuah isyarat perilaku politik dinasti, melumpuhkan kepentingan rakyat.

Justru sebaliknya, kegelisahan masyarakatlah yang seharusnya dapat diartikan sebagai sinyal yang bisa ditafsirkan dengan baik oleh para penegak hukum, bukan malah dianggap sebagai sebuah lelucon, kepanikan tak terarah atau bahkan prasangka buruk.
 
Ketiga, inkonsistensi sikap MK, pasalnya sikap para hakim yang mendadak berubah pikiran tampak dikendalikan oleh tangan tangan tak terlihat. Awalnya para hakim tersebut dengan tegas menolak permohonan pemohon dalam putusan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy.

Hal ini membuktikan bahwa betapa para penegak hukum tak punya martabat untuk menjalankan roda keadilan dan hukum sebagaimana mestinya, pengendalian lewat kepentingan nepotisme ini teridentifikasi lewat sikap inkonsisten para penegak hukum.
 
Bila melihat lebih jauh dari atas dengan pola pandang "bermata elang", penulis mencoba menarik jauh simpul benang merah yang dapat disimpulkan dari fenomena kejanggalan hukum negeri ini. Walau tanpa disebut satu persatu peristiwa cacat hukum sebetulnya sangat seringkali terjadi di negeri ini.

Ini membuktikan bahwa kerusakan yang terjadi itu bukan hanya berhenti pada para penegak hukum ataupun penguasa sebagai personal ataupun sikap kelembagaan, namun juga kerusakan ini diidentifikasi pada sistem yang menjadi instruktur praktik politik dan hukum dalam sebuah institusi besar, yakni negara.
 
Sistem yang dimaksud adalah demokrasi, sistem politik ala barat ini lahir dengan sejarah yang panjang melalui berbagai asimilasi penerimaan masyarakat yang dinilai sebagai konsensus. Rakyat dipaksa menerima konsep demokrasi dengan gelas kosong tanpa bantahan sedikitpun.

Indoktrinasi mengenai demokrasi tak pernah berhenti sehingga kritik hanya berhenti pada "kesalahan pola asuh" Bukan pada "kerusakan esensial" sistem demokrasi itu sendiri.
 
Jika masyarakat, baik dari mahasiswa, pemuda, politikus itu berani menyuarakan kebenaran tentang buruknya sistem demokrasi, maka akan dianggap sebagai pengkhianat ideologis, tak Pancasilais atau tak bahkan sosialis komunis.

Padahal demokrasi secara historis hadir sebagai sebuah jalan sekularisasi hukum tata negara yang seharusnya tidak akan bisa diadopsi oleh bangsa yang sudah martabat dengan hukum konstitusi berlandaskan teologi.

Termasuk perkara ini, masyarakat yang mengkritisi hanya berhenti pada cara dan sikap tokoh tapi tidak pada landasan sistem yang menjadi rujukan seluruh praktik kotor politik sebagai dampak dari indoktrinasi.

Nepotisme yang katanya dilarang dalam demokrasi, tapi demokrasi sendiri memberikan peluang perubahan-perubahan hukum yang menyesuaikan keinginan kapitalis oligarki.

Jika kapitalis mau bahwa politik dinasti dan nepotisme itu ada dalam napas demokrasi, maka berbagai cara dilakukan demi tercapainya agenda besar oligarki.
 
Demikianlah demokrasi, yang digadang sebagai sebuah jalan perubahan, ilusi kedaulatan rakyat yang ditawarkan sebagai representasi nilai-nilai kerakyatan nyatanya tidak lepas dari penjajahan oligarki dan kepentingan kelompok nepotisme.

Penindasan hukum lewat pengendalian penegak hukum sangat menampar kenyataan bahwa legislasi hukum nyatanya bukan atas nama kepentingan rakyat.
 
Hegemoni kapitalisme tidak hanya menguasai wilayah perekonomian rakyat melalui tangan tangan investor jahat merebut hak rakyat dengan landasan "demi ekonomi negara", tapi juga pengendalian hukum dengan mengubah hukum semau penguasa dengan alasan "demi kepentingan rakyat".
 
Fenomena serupa pun terjadi lewat putusan MK mengenai usia minimal bacapres dan bacawapres dengan alasan memberikan peluang anak muda untuk berkontribusi dan berperan dalam aktivitas politik, nyatanya penguasa hanya ingin melanggengkan penjajahan lewat kekuasaan dinasti dan sarat akan nepotisme belaka.
 
Peran anak muda yang seharusnya dioptimalkan pada lini perjuangan mewakili opini masyarakat melalui aksi sosial dan demonstrasi terhadap kebijakan yang lalim nan zalim justru dibungkam, membusuk ditahan tanpa ada kepastian pelanggaran hukum.

Tetapi sebaliknya jika peran pemuda yang dimaksud adalah perhelatan dunia politik praktis yang sarat akan kepentingan kelompok, pragmatis-oportunis, hingga kapitalis oligarki maka tak perlu menunggu waktu lama, berbagai cara dilakukan mulai dari memberikan panggung untuk menjadi ketua umum partai hingga perubahan cepat undang-undang atau regulasi hukum yang menyangkut hal ini.

Alih-alih memberikan ruang pemuda untuk tampil sebagai agen perubahan justru melanggengkan penjajahan oligarki lewat boneka selanjutnya yang berasal dari kalangan pemuda.
 
Ironisnya, hipokrisi demokrasi tidak akan berhenti sampai sistem demokrasi ini diganti atau mati dengan sendirinya. Demokrasi menciptakan definisi sendiri demi memberangus ide-ide lain yang hadir sebagai alternatif solusi di tengah kecamuk masyarakat yang terdampak akibat kebijakan zalim. Ilusi inilah yang membelenggu negeri dan anak bangsa selanjutnya.
 
Akankah kita akan terus mengulang sejarah? Terus mempercayai bualan-bualan yang tak pernah ada ujungnya?

Percayalah ini bukan tentang siapa pelakunya, tapi apa sistem yang menjadi landasan hukum pergerakan dan praktik politik hari ini yang kian jauh dari nilai-nilai kedaulatan rakyat, yaitu demokrasi. 

*(Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita