OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
TIDAK ada titik kembali. Jokowi terjebak dalam posisi "point of no return untuk pertahankan kekuasaan. Tidak bisa tidak, kalau mau selamat. Karena, selama dua periode pemerintahannya, Jokowi diduga banyak melakukan pelanggaran hukum, termasuk konstitusi.
Antara lain, proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang awalnya business to business ternyata menggunakan APBN. Bahkan APBN dijadikan jaminan utang. Selain itu, UU IKN dan UU Cipta Kerja terindikasi melanggar konstitusi. Terbaru, kasus Rempang Eco City ditengarai melanggar HAM berat.
Jangan lupa, Kaesang dan Gibran juga dilaporkan ke KPK sebagai terduga KKN, karena menerima dana investasi dari Sinar Mas yang didakwa bersalah pada kasus kebakaran hutan tetapi hanya dihukum ringan, atau diringankan?
Tidak heran, relawan Jokowi yang sekarang menjabat Menteri Kominfo, Budi Arie, sempat keceplosan: “kalau kalah Pilpres 2024, kita semua bisa masuk penjara”. Juga tidak heran, Jokowi berupaya keras agar terus bisa berperan di pusat kekuasaan. Tidak ada pilihan, demi keselamatan seluruh keluarga. Point of no return. Kalau perlu, menggunakan segala cara.
Pertama, (pendukung) Jokowi berupaya memperpanjang masa jabatan Jokowi, dengan dua atau tiga tahun. Ada yang berimajinasi liar, Jokowi akan menunda pemilu dan pilpres, karena terjadi chaos atau tidak ada dana APBN untuk pemilu. Tentu saja semuanya kandas. Karena semua itu melanggar konstitusi secara brutal.
Kemudian, (pendukung) Jokowi juga berupaya memperpanjang periode jabatan presiden menjadi tiga periode. Dengan cara mengeluarkan dekrit presiden kembali ke UUD asli, di mana MPR nantinya akan mengangkat Jokowi kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Tentu saja, imajinasi liar ini juga kandas. Karena juga melanggar konstitusi, sama brutalnya.
Tidak putus asa, Jokowi kemudian mau dijadikan wakil presiden. Untuk itu, Partai Berkarya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden dua periode boleh menjadi wakil presiden. Gugatan ditolak. Kandas lagi.
Jokowi selesai. Jokowi akan segera menjadi masa lalu. Menjadi rakyat jelata. Bagaimana nasibnya ke depan? Bagaimana keamanannya ke depan?
Demi keamanan masa depannya, Jokowi berusaha menjadi "Godfather" dalam menentukan presiden yang akan datang. Awalnya, Jokowi mau menguasai Ganjar Pranowo sebagai ‘bonekanya. Gagal. Ganjar tegak lurus kepada Megawati dan PDIP.
Joman, Jokowi Mania, di bawah koordinasi Immanuel Ebenezer, yang awalnya mendukung Ganjar kemudian lari mendukung Prabowo. Ini tanda sangat jelas, Jokowi tidak lagi mendukung Ganjar, tetapi mendukung Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, partai terbesar ketiga.
Karena, Prabowo saat ini menjadi satu-satunya harapan terakhir Jokowi dan keluarga yang tersisa, untuk mengamankan masa depannya.
Tetapi, Jokowi merasa tidak cukup hanya menggantungkan nasibnya kepada Prabowo. Jokowi tidak bisa menyerahkan seratus persen nasib masa depannya kepada Prabowo. Jokowi harus memastikan, masa depannya sekeluarga aman dan tenteram.
Untuk itu, jalan terakhir adalah menjadikan Gibran wakil presiden. Memang sangat absurd. Karena saat ini Jokowi dan keluarga tidak bisa berpikir jernih. Panik, karena menyangkut nasib masa depan.
Tetapi, apa daya. Gibran tidak memenuhi persyaratan batas usia minimum calon wakil presiden. Gibran belum cukup umur, belum berusia 40 tahun ketika pendaftaran pilpres 19 Oktober yang akan datang, seperti persyaratan UU 7/2017 tentang Pemilu.
Jalan terakhir, nekat. Batas usia minimum di dalam UU Pemilu harus diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun, agar Gibran bisa menjadi calon wakil presiden.
Caranya, melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi, batas usia minimum capres-cawapres melanggar konstitusi. Tentu saja, gugatan tersebut tidak dilakukan oleh Gibran sendiri. Tetapi, oleh banyak pihak. Berlapis-lapis.
Mahkamah Konstitusi juga nekat. Seharusnya, Mahkamah Konstitusi tidak bisa menerima gugatan tersebut, karena tidak ada ‘legal standing’. Nekat, Mahkamah Konstitusi tetap menggelar sidang. Tapi, lagi-lagi kandas. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan. Batas usia minimum capres-cawapres tetap 40 tahun.
Di "injury time", Mahkamah Konstitusi bertambah nekat. Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, adik ipar Presiden Jokowi, sekaligus paman Gibran, cawe-cawe.
Menurut Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, Anwar Usman mengubah komposisi Hakim Konstitusi untuk sidang gugatan keempat, yaitu penambahan persyaratan alternatif capres-cawapres "….. atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah".
Hasil cawe-cawe Anwar Usman, Mahkamah Konstitusi "mengabulkan" gugatan dengan skor 5-4, lima mengabulkan dan empat menolak. Meskipun dua Hakim Konstitusi, di antara lima yang mengabulkan, menyatakan "berpengalaman sebagai Kepala Daerah setingkat Provinsi", bukan Kabupaten. Perbedaan pendapat ini pada saatnya akan menjadi permasalahan serius tersendiri.
Putusan "berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah (termasuk Kabupaten/kota)" sangat jelas diformulasikan untuk kepentingan orang yang belum berusia 40 tahun tetapi sedang menjabat Kepala Daerah. Saat ini, mungkin hanya Gibran satu-satunya yang memenuhi persyaratan tersebut.
Artinya, Anwar Usman dan Jokowi terbukti tambah nekat. Karena point of no return. KKN tersirat jelas dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini. Demi menyelamatkan masa depan keluarga. Apakah benar bisa selamat? Masih menjadi tanda tanya besar!
*(Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies)