GELORA.CO - Adu mulut saling menyalahkan antara China dan Filipina atas sengketa Laut China Selatan bisa meningkatkan risiko konflik bersenjata, yang juga melibatkan Amerika Serikat (AS).
Demikian kekhawatiran yang disampaikan oleh Ding Duo, peneliti di Institut Nasional untuk Studi Laut China Selatan, seperti dimuat South China Morning Post, Selasa (24/10).
Dalam pendapatnya, Ding Duo menyoroti dua insiden tabrakan antara kapal China dan Filipina pada Minggu (22/10) hingga menimbulkan ketegangan di antara dua negara.
Menurut Ding, insiden tersebut dapat menjadi titik balik bagi hubungan antara Beijing dan Manila, sekutu tertua AS di Asia.
Ketegangan pada Minggu terjadi menjelang putaran terakhir perundingan Kode Etik Laut China Selatan. Pembicaraan tersebut, yang dimulai pada awal pekan ini di Beijing, bertujuan untuk mencegah konflik bersenjata besar di Laut Cina Selatan.
"Selama beberapa tahun terakhir, kedua belah pihak berhasil mengendalikan perbedaan mereka dengan baik, sehingga ada kesepakatan tak terucapkan tentang cara menangani perselisihan di Laut China Selatan," ujar Ding.
"Tetapi sekarang, perjanjian tersebut telah dilanggar," imbuhnya.
Ding mengatakan konfrontasi ini dapat merusak kepercayaan bilateral dan mempengaruhi perundingan kode etik yang sedang berlangsung dan telah lama ditunggu-tunggu.
“Kejujuran dalam negosiasi akan berkurang," kata Ding.
Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan sibuk yang penting bagi negara-negara di Asia Tenggara dan Timur. Peningkatan eskalasi di sana akan meningkatkan risiko campur tangan AS sekutu Filipina selama lebih dari 70 tahun.
Berdasarkan Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951, AS wajib membela Filipina jika pasukan, kapal, dan pesawatnya diserang, termasuk penjaga pantainya, di mana pun di Laut Cina Selatan.
Sumber: rmol