Menuju Rp 16.000/US$, Airlangga: Bukan Rupiah Melemah, Tapi Dolar AS yang Menguat

Menuju Rp 16.000/US$, Airlangga: Bukan Rupiah Melemah, Tapi Dolar AS yang Menguat

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto buka suara soal mata uang rupiah yang terus melemah bahkan diperkirakan bisa tembus Rp 16.000 per dolar AS. Menurut Airlangga, bukan rupiah yang melemah, melainkan dolar AS yang kian menguat.

Penguatan dolar AS, lanjutnya, berdampak ke semua negara. Hal itu juga tentunya berimbas kepada rupiah.

"Itu bukan rupiah melemah, US Dollar menguat, karena itu semua negara ya. Itu kan kita antisipasi saja," ucap Airlangga di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Oktober 2023.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot menguat pada perdagangan Selasa pagi, 24 Oktober 2023. Rupiah menguat sebesar 55 poin atau 0,33 persen ke posisi Rp 15.878 per dolar AS, dibandingkan pada penutupan sebelumnya senilai Rp 15.933 per dolar AS.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) terakhir atau kemarin sore, mematok rupiah di angka Rp Rp15.943 per dolar AS.

Pergerakan data perdagangan rupiah ditengarai akibat konflik di Timur Tengah yang berdampak kepada harga minyak dunia. 

Analis PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi pada pekan lalu mengatakan, rupiah berpotensi menuju Rp 16.000 per dolar AS. Hal itu karena gejolak di timur tengah pasca Iran merekomendasikan OPEC untuk melakukan embargo minyak ke Israel membuat kondisi di kawasan timur tengah memanas walaupun masih belum direspons oleh OPEC.

"Dengan kondisi rupiah yang terus melemah bahkan mau menuju Rp 16.000 akibat geopolitik di timur tengah serta cadangan devisa yang terus tergerus," kata Ibrahim dalam keterangannya belum lama ini

Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo juga sempat menjelaskan, menguatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar rupiah.

"Dibandingkan akhir tahun 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,21 atau menguat 2,60 persen (ytd)," kata Perry dalam konferensi pers di kantornya beberapa waktu lalu.

Perry mengatakan, kuatnya dolar AS itu memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro yang melemah masing-masing 12,44 persen, 6,61 persen dan 1,40 persen year to date (ytd).

Kemudian juga depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing 7,23 persen, 4,64 persen dan 1,73 persen ytd.

"Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03 ytd relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," jelasnya.

Untuk ke depan, jelas dia, Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal itu agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.

Di samping intervensi di pasar valuta asing, terangnya, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valuta asing. Itu termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.

"Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023," ujarnya.

Sumber: viva
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita