GELORA.CO - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan paling keras melawan kejahatan Israel. Dia mengaku tengah menyiapkan deklarasi Israel sebagai penjahat perang.
“Kami sedang mempersiapkannya. Kami akan memperkenalkan Israel kepada dunia sebagai penjahat perang,” ujar Erdogan dalam sebuah aksi demonstrasi pro-Palestina di Istanbul, Sabtu 28 Oktober 2023, mengutip Anadolu Agency.
Erdogan mengatakan, dunia Barat telah berperan dalam memobilisasi para politisinya dan media untuk membenarkan pembantaian orang-orang tak bersalah di Gaza.
“Mereka yang menitikkan air mata buaya untuk warga sipil yang tewas dalam perang Ukraina-Rusia diam menyaksikan kematian ribuan anak tak berdosa di Gaza,” ucapnya.
“Saya bertanya kepada Barat, apakah Anda ingin menciptakan suasana Perang Salib berikutnya?” lanjut Erdogan seraya menambahkan, dalang utama di balik pembantaian yang terjadi di Gaza adalah Barat.
“Tentu saja, setiap negara berhak membela diri, tetapi di mana keadilannya? Tidak ada pembelaan diri selain pembantaian terbuka dan keji yang sedang terjadi di Gaza,” imbuh dia.
Semua orang tahu bahwa Israel adalah pion di kawasan yang akan dikorbankan ketika saatnya tiba, tambahnya.
Erdogan mengatakan bahwa dia juga memuji tekad rakyat Gaza untuk tidak meninggalkan rumah dan kota mereka dalam menghadapi pemboman yang dilakukan oleh Israel.
Israel telah membombardir Gaza sejak 7 Oktober ketika kelompok Palestina Hamas melakukan serangan ke Israel, yang menewaskan 1.400 orang dan menyandera banyak orang.
Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza mengatakan serangan Israel kini telah menewaskan sedikitnya 7.703 orang. Sebagian besar warga sipil dan banyak dari mereka adalah anak-anak.
Terkait suara Majelis Umum PBB yang mendukung resolusi yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza, Erdogan mengatakan, “Israel, Kalian ditakdirkan untuk ditinggalkan sendirian.”
Majelis Umum PBB pada Jumat 27 Oktober 2023 menyetujui sebuah resolusi yang menyerukan gencatan senjata untuk kemanusiaan yang berlangsung lama dan berkelanjutan di Gaza.Resolusi tersebut, yang diajukan oleh hampir 50 negara, termasuk Turki, Palestina, Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UAE), diadopsi setelah mendapatkan suara 120 mendukung, 14 menolak, dan 45 abstain. (*)