GELORA.CO - Peneliti Politik dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, memberikan komentar soal dinasti politik keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebagaimana diketahui, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, telah resmi menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) pendamping Prabowo Subianto usai mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, Rabu (25/10/2023) kemarin.
Menurut Made, terpilihnya Gibran sebagai bacawapres merupakan skenario yang sudah didesain oleh para elite politik.
Pasca-terpilihnya Gibran sebagai bacawapres, ia melihat sentimen negatif mengenai dinasti politik telah terkumpul.
Sentimen negatif itu bukan hanya hadir dari kalangan civil society, melainkan juga dari kalangan orang-orang biasa.
Namun, para elite tetap memilih Gibran sebagai pendamping Prabowo karena mereka percaya dengan kampanye yang baik, sentimen negatif tersebut bisa diubah.
Made pun memperkirakan peluang untuk mengubah sentimen negatif tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil.
"Kalau Anda pergi di mana saja, saya mendapat laporan dari Kupang, saya mendapat laporan dari Bali, saya mendapat laporan dari Kalimantan, gambar PSI dengan Kaesang dan Presiden Jokowi, Jokowisme itu ada di mana-mana di seluruh Indonesia," tutur Made dikutip dari YouTube Kompas TV.
Ini karena kampanye yang dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengenai Jokowisme masif dan ada di mana-mana.
Mereka memasang gambar Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, dan Jokowi untuk mengubah pandangan publik.
"Begitu masif. Begitu masif kampanye mereka. Dan saya yakin apakah ini tak akan memengaruhi opini publik? Saya berkeyakinan itu mampu," sambung Made.
Sementara itu, ia juga penasaran mengenai siapakah sosok konsultan yang berada di balik kampanye masif ini.
Made berpendapat sosok konsultan ini tampaknya berasal dari luar negeri.
"Dan saya sangat ingin tahu sebenarnya, siapa konsultan di balik ini? Bukan orang Indonesia, seperti kita tahu ada banyak pemain-pemain asing yang berada di balik kampanye ini," jelas Made.
Tak Ada Suara Oposisi
Made lantas menyebut bahwa saat ini tak ada suara oposisi di politik Indonesia.
Semua narasi yang beredar hanya berasal dari Jokowi. Tak ada pembanding lain.
Alhasil, rakyat terpaksa menerima narasi tersebut dan memercayainya.
"Tak ada oposisi lagi. Semua narasi di-engineer oleh dirinya (Jokowi) sendiri. Approval rating-nya sangat tinggi," jelasnya.
Itulah alasan mengapa Prabowo menggaet Gibran sebagai bacawapres-nya, yaitu untuk menarik suara dari para pendukung Jokowi.
Kegamangan PDIP
Bergabungnya Gibran yang merupakan kader PDIP ke kubu Prabowo sejauh ini belum direspons secara frontal oleh partai berlambang banteng moncong putih itu.
Ketika mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi peserta Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka belum menyatakan hengkang dari PDIP.
Bahkan, Gibran pun belum mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) PDIP.
Menurut Made, tindakan PDIP itu berdasarkan perhitungan politik karena Jokowi saat ini masih berkuasa.
Tampaknya mereka percaya kampanye yang dilakukan oleh kadernya di akar rumput akan mampu menandingi kampanye dari Prabowo, Gibran, dan Jokowi tanpa harus mengambil langkah tegas kepada keluarga sang presiden.
"Kayaknya di kalangan elite PDIP saat ini masih gamang, mereka percaya mereka mempunyai grassroots, punya kader yang sampai bawah, dan mampu menandingi kampanye Prabowo, Gibran, dan Jokowi nanti," jelasnya.
"Ya, saya gak meragukan itu karena saya tahu mereka tak memiliki uang sebanyak yang dimiliki Triumvirate ini," tutur Made.
Triumvirate atau Triumvirat adalah sebuah rezim politik yang didominasi oleh tiga orang penguasa, dalam hal ini merujuk kekuatan Prabowo, Gibran, dan Jokowi.
Sumber: tribun