Jika Mau Jaga Netralitas Pilpres, Pengamat Berpandangan Jokowi atau Gibran Harus Mundur

Jika Mau Jaga Netralitas Pilpres, Pengamat Berpandangan Jokowi atau Gibran Harus Mundur

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Seorang Pengamat Politik berpendapat sebaiknya Presiden Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatannya jika memang menginginkan Pemilihan Presiden 2024 berlangsung netral.

Menurut Dr Ari Junaedi, MS akan sulit bagi Presiden Jokowi untuk bersikap netral pada Pilpres 2024. Sebab putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka terlibat sebagai salah satu Capawres pada suksesi kepemimpinan nasional 2024.

“Bagaimana pun Presiden Jokowi mengatakan dirinya akan netral di Pilpres 2024, itu hal yang mustahil. Sudah dapat dipastikan akan terjadi pemanfaatan suprastuktur negara untuk mendongkel pemenangan anaknya,” ujar Junedi dalam konferensi pers dan diskusi media bertajuk Nasib Demokrasi Indonesia ke Depan, yang digelar Media Center Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 30 Oktober 2023.

Dikatakan Ari Junaedi, jika pertemuan Presiden Jokowi dengan tiga Bacapres yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan di Istana, Senin 30 Oktober 2023, dimaksudkan untuk menjelaskan netralitasnya di Pilpres 2024, adalah suatu hal yang musykil.

Sebab apa yang terjadi di panggung depan dan belakang pasti akan berbeda. Apalagi, sikap munafik Jokowi sudah terlihat dari proses naiknya putra sulungnya menjadi Cawapres.

“Jokowi sudah tidak bisa dipisahkan kepentingan umum dengan kepentingan pribadi. Ini soal masa depan demokrasi yang sudah dibajak,” kata Ari Junaedi.

Oleh sebab itu, tegas Ari, jika Jokowi memang menginginkan penyelenggaraan Pilpres berlangsung netral, maka dirinya harus berhenti dari jabatan presiden. Ini konsekuensi logis dari majunya Gibran menjadi Cawapres.

“Jika hanya cuti dari jabatan presiden selama masa kampanye Pilpres, itu sama saja dengan bohong. Sebab sudah dapat dipastikan Jokowi, tidak terhindarkan akan dapat memanfaatkan suprastruktur negara untuk pemenangan putranya,” kata Ari.

Ari mengaku sudah bekeliling daerah, mulai melihat fenomena di masyarakat dimana ada aksi warga yang menggambarkan presiden Jokowi dijadikan keranda mayat dan cawapres Gibran digambarkan sebagai pocong.

Menurut Ari, fenomena itu memperlihatkan bahwa apa yang diomongin Jokowi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Sebab Apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dilakukan.

“Saat ini kita sudah harus kibarkan bendera setengah tiang atas matinya demokrasi. Lebih baik Jokowi mundur saja dan jadikan KH Maruf Amin jadi presiden,” kata Doktor Komunikasi Politik dan Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama ini.

Perubahan sikap Jokowi terakhir ini, lanjut Ari, juga mengubah pandangan publik terhadap peluang menjadi presiden. Jika dulu seorang pengusaha mebel rakyat biasa bisa jadi presiden.

“Namun saat ini jangan pernah bermimpi anak tukang ojol bisa jadi capres atau cawapres, kecuali dia adalah anak seorang presiden,” pungkas Ari beranalogi.

Potensi Kemarahan Rakyat

Sementara itu, Pengamat Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie pada kesempatan yang sama, mengaku bahwa dirinya samgat khawatir dengan potensial risk dalam negeri dan luar negeri saat ini.

“Kondisi saat ini lumayan besar pengaruhnya bagi potensi risk. Pertama involvement aparat. Kemungkinan tidak netral itu tetap ada. Kemungkinan bapaknya menggunakan aparat untuk kepentingan anaknya tetap ada,” kata Connie Rahakundini Bakrie.

Connie mengingatkan sejarah yang terjadi pada Tahun 1998-1999, tidak ada kekuatan intelijen dan aparat dan militer apa pun bisa mengerem kekuatan kemarahan masyarakat.

“Saya marah kepada Jokowi, dia tidak jalankan fatsun politik. Ini ada etika yang dilanggar,” kata Connie.

Dia mengaku sudah tidak percaya dengan omongan Jokowi. Pertama Jokowi pernah bilang tidak akan cawe-cawe tapi akhirnya malah cawe cawe. Bahkan hingga membuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang aneh meloloskan putera Jokowi ikut kontestasi jadi Cawapres.

“Bahkan hakim MK Arief Hidayat mengusulkan bubarkan saja MK. Itu artinya ada yang salah dengan MK saat ini,” kata dia.

Connie juga menyinggung soal pentingnya sikap tahu diri dan tahu malu serta soal kepantasan. Dia mengaku saat ini khawatir dengan lahirnya mini mini kawe (cawapres tidak punya kapabilitas).

“Saya tidak marah saat Gibran jadi walikota tapi kali ini saya marah kepada Jokowi melakukan hal hingga kondisi negara seperti saat ini,” kata dia.

Connie mengaku dirinya angkat topi dan hormat sama Prabowo. Namun dirinya merasa ada yang aneh dengan omongan mini mini kawe (Gibran) yang mengatakan: “Pak Prabowo Jangan khawatir, saya ada di sini”.

Menurut Connie, dilihat dari omongan Gibran tersebut membuktikan ada yang salah dengan kondisi saat ini.

“Saya sebagai dosen merasa miris seorang anak bicara seperti itu ke orang tua. Rasanya kok tak pantas,” kata dia.

Connie mengaku dirinya khawatir dengan kondisi politik di tanah air seperti saat ini bisa menimbulkan risiko Indonesia dimasuki oleh kepentingan asing. Potensi itu harus diwaspadai.

“Saat ini yang saya khawatirkan dari soal Gibran adalah takutnya kemarahan masyarakat yang memuncak. Kemarahan masyarakat kapan meledaknya waktunya saya tidak tahu. Tapi itu terjadi dimulai dari drama Korea soal MK. Saat ini memang diperlukan revolusi moral leadership,” kata Connie.

Sebagai pengamat militer, Connie mengatakan, dirinya tidak ingin Prabowo lakukan hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Prabowo harus ganti cawapres. Atau Jokowi cuti, menteri yang ikut kontestasi juga cuti. Coba bayangkan bagaimana mungkin bisa membelah kepentingan antara diri sebagai presiden dan kepentingan anak bapak demi anak,” kata dia.

Connie juga menyoroti soal rencana penggantian Panglima TNI yang terkesan dipercepat, dimana saat ini DPR sudah terima Surat Presiden (Surprise) penggantian panglima TNI.

Menurut Connie, apa urgensinya dipercepat penggantian Panglima TNI sebab Panglima TNI saat ini Laksamana TNI Yudo Margono masih belum pensiun. Kecuali Pangalima TNI punya kesalahan besar maka wajar kalau itu diganti.

“Saya curiga kenapa harus buru buru dan disegerakan melantik Jenderal Agus Subiyanto jadi panglima TNI. Ini lebih aneh lagi kok ada percepatan penggantian panglima TNI. Saya ingatkan TNI dari rakyat, jangan gunakan TNI untuk kepentingan yang bukan untuk rakyat,” pungkas Connie. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita