OLEH: ADIAN RADIATUS
MESKI belum bisa disebut antiklimaks, tetapi munculnya nama putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto telah membuat gempar setengah publik pemerhati dunia perpolitikan negeri ini. Setengahnya lagi seperti masuk dalam medan gamang di pikiran dan hati.
Jungkir balik tak hanya terkait pola nalar akal sehat terkait risiko atas kepemimpinan kenegaraan dan kebangsaan ke depannya. Tetapi juga munculnya perseteruan tingkat tinggi. Bahkan akan amat sangat tinggi, di antara PDIP dan partai-partai pendukung Prabowo-Gibran.
Namun masalah sentral sesungguhnya adalah penunjukan dan pengangkatan Gibran sebagai cawapres di tengah banyaknya kandidat potensial dan lebih senioritas secara usia maupun pengalaman. Sangat menarik ketika sesuatu yang di luar kelaziman, bahkan di dunia politik, sekalipun tiba-tiba muncul ke permukaan level tertinggi kepemimpinan nasional meskipun masih merupakan kandidat.
Apa ada yang salah dengan Gibran sendiri. Atau apakah ini termasuk "dirty conspiracy" para petinggi elite yang sebenarnya sudah muak juga dengan situasi saling 'sandera' tak berujung yang titik akhirnya oleh kekuasaan di belakang Jokowi, karena acapkali disebut sebagai petugas partainya?
Lantas meskipun secara eksplisit Jokowi selalu mengelak dikait-kaitkan dengan langkah-langkah politik kedua anaknya itu, tetap saja publik dan elite politik tak serta merta mempercayainya. Bahkan jelas menolak alibi semacam itu.
Jokowi pasti mempunyai andil besar. Namun siapa think tank di belakangnya. Atau apakah Gerindra sendiri juga turut memberi 'asumsi- asumsi' kepada para partai koalisi tentang pengangkatan Gibran ini. Tentu saja ini adalah hasil olahan secara 'off the record' top level elite partai-partai tersebut.
Bagaimanapun proses yang berlangsung bak kilat petir di siang bolong itu telah menorehkan munculnya sosok anak muda yang kebetulan anaknya presiden dan tengah berkuasa dan kebetulan juga anak Solo. Salah satu kota bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia ini.
Penggunaan jalur konstitusi sudah berlangsung. Pahit atau manis baru akan diketahui dikemudian hari. Tak perlu ditangisi atau memburu kemarahan yang tak mampu pula menjawab jalan penyelesaiannya.
"Cara yang salah tak selalu menghasilkan karya yang buruk," kata sebuah ungkapan terkait sebuah kecurangan di salah satu kisah kerajaan masa lampau.
Maka pertanyaannya adalah, apakah Gibran ini sesungguhnya batu permata bagi Indonesia kelak melalui tangan-tangan elite di tengah situasi "terjepit. Ataukah malah akan jadi batu sandungan di tengah semua upaya menyelamatkan kondisi bangsa dan negara ini dari cengkraman para penjahat hitam yang tak tersentuh hingga saat ini?
(Penulis adalah pemerhati sosial politik)