GELORA.CO - Sanksi bagi pelaku money politic atau politik uang perlu diketahui menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Apa sanksi politik uang dalam pemilu?
Politik uang adalah sebuah upaya mempengaruhi hak suara pemilih atau penyelenggara pemilu untuk memberikan pilihan suaranya kepada calon tertentu. Politik uang dilakukan dengan memberikan imbalan materi, janji, atau hal lainnya kepada pemilik suara.
Berdasarkan pemahaman tersebut, politik uang juga didefinisikan sebagai salah satu bentuk suap. Praktik ini sering muncul menjelang Pemilu.
Di Indonesia, politik uang kerap disebut dengan istilah serangan fajar. Disebut serangan fajar karena umumnya calon atau seseorang dari tim calon yang akan menduduki bangku parlemen akan memberikan imbalan pada masyarakat di waktu Subuh pada hari pelaksanaan pemungutan suara guna mendapatkan suara.
Dikutip dari laman Bawaslu, jenis politik uang tidak selalu berbentuk materi, tetapi bisa juga berupa fasilitas. Misalnya, dengan memanfaatkan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi yang berkaitan dengan Pemilu. Contoh lain politik uang berupa fasilitas adalah pemberian izin untuk memperbaiki jalan raya atau jembatan dengan menggunakan anggaran negara demi mendapatkan suara pemilih.
Secara hukum, tindak pidana politik uang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 278, 280, 284, 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 523 ayat (1) sampai ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat tiga kategori sanksi politik uang berdasarkan waktunya, yakni pada saat kampanye, masa tenang, serta saat pemungutan dan penghitungan suara.
Adapun dalam Pasal 523 ayat (1), sanksi yang dikenakan ketika seseorang terlibat dalam politik uang saat kampanye adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Sedangkan sanksi politik uang ketika masa tenang berdasarkan Pasal 523 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.
Sanksi terakhir yang akan diterima pelaku politik uang secara perorangan pada hari pemungutan suara adalah pidana penjara maksimal tiga tahun dan denda Rp 36 juta. Sanksi ini diatur dalam Pasal 523 ayat (3) yang bunyinya sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00.”
Secara lebih tegas Ketua Tim Sentra Gakkumdu Bawaslu DKI Jakarta Puadi memperingatkan kandidat pemilu agar jangan coba-coba melakukan politik uang.
“Peserta, tim kampanye, melakukan pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih, baik langsung maupun tidak langsung, itu ketentuan pidananya adalah 4 tahun dan denda Rp 48 juta,” kata Puadi pada Selasa (16/4/2019).
Puadi menjelaskan, kandidat Pemilu yang nantinya terpilih sebagai anggota legislatif atau presiden dan wakil presiden juga bisa dicopot dari jabatannya bila terbukti melakukan politik uang.
Di samping itu, pencalonan seseorang juga bisa dibatalkan apabila terbukti melakukan politik uang saat masa pemilihan. “Siapapun mereka apabila peserta pemilu caleg yang sudah inkrah berkekuatan hukum tetap tentunya ketentuan di UU 7 2017 di Pasal 285 ada proses pencoretan, di situ nanti yang mengeksekusi KPU,” ujar Puadi.
Jadi selain sanksi pidana 4 tahun penjara dan denda Rp48 Juta, seseorang yang terbukti melakukan politik uang secara otomatis akan terdiskualifikasi dari penyelenggaraan Pemilu.
Untuk mencegah maraknya politik uang, Bawaslu biasanya akan melakukan patroli dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa, hingga dusun tempat pemilihan suara. []