GELORA.CO - Undang-Undang Mahkamah Konstitusi digugat. Secara spesifik, gugatan terkait syarat untuk menjadi Hakim MK sebagaimana diatur dalam UU.
Penggugat ialah seorang advokat bernama Mochamad Adhi Tiawarman. Gugatan disampaikan pada 19 September 2023.
Gugatannya sudah termuat dalam situs MK. Namun, belum tercatat dalam nomor registrasi.
Ia menggugat Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020. Bunyinya:
“Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 55 tahun;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.
Dalam permohonannya, Pemohon berargumen bahwa gugatan dilayangkan dalam rangka melindungi kepentingan konstitusionalnya. Yaitu ketika Pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.
“Pemohon diadili oleh hakim konstitusi yang bebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pembentuk Undang-Undang (Presiden dan/atau anggota DPR),” bunyi permohonan.
Ia memaparkan bahwa Presiden dan DPR berwenang membahas Rancangan Undang-Undang. Hal itu berdasarkan Pasal 20 UUD 1945.
Dengan demikian, Presiden dan DPR berkepentingan dengan UU yang diuji di MK. Menurut Pemohon, Presiden dan DPR akan menjadi pihak yang akan mempertahankan agar UU tidak dibatalkan MK melalui mekanisme uji materiil atau uji formil.
“Maka pada saat seorang hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR melaksanakan fungsi yudisialnya, maka hakim konstitusi a quo menjadi tidak bebas dan tidak independen dalam memeriksa, memutus, dan mengadili perkara pengujian UU terhadap UUD 1945,” papar pemohon.
Pemohon pun merujuk Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009, mengatur bahwa Ketua Majelis hakim dan Hakim Anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili.
“Norma ini juga berlaku terhadap hakim konstitusi,” bunyi permohonan.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan.
“Bahwa pada saat Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang diajukan Pemohon diadili oleh hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR maka hal ini telah nyata merugikan Pemohon karena Pemohon tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,” bunyi permohonan.
Berdasarkan argumen tersebut, Pemohon meminta MK menambahkan syarat bagi hakim MK. Yakni Pasal 15 ayat (2) huruf i yang berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
i. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Pemohon tidak menyebutkan nama hakim MK yang mempunyai hubungan darah dengan Presiden dan/atau anggota DPR. Namun, MK sempat menjadi sorotan ketika Ketua MK Anwar Usman menikahi adik Presiden Jokowi.
Sumber: kumparan