GELORA.CO - Pemimpin negara Muslim memakai Sidang Majelis Umum PBB di New York untuk mengecam aksi pembakaran Al-Quran. Mereka sepakat dalih kebebasan berpendapat yang dipakai saat membakar Al-Quran adalah tindakan diskriminatif.
Pembakaran Al-Quran kerap dilakukan di negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Denmark. Pemerintah Swedia selalu mengutuk pembakaran Al-Quran.
Sayangnya Pemerintah Swedia tidak pernah menghentikan aksi pembakaran Al-Quran. Mereka berdalih penghentian tindakan itu bertentangan dengan UU kebebasan berpendapat yang berlaku.
Berbicara di Sidang Majelis Umum PBB di New York pada Selasa (20/9), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, bahwa di Barat telah terjadi wabah rasisme termasuk Islamofobia.
"Saat ini itu sudah mencapai tingkat yang tidak bisa diterima," kata Erdogan seperti dikutip dari AFP.
"Sayangnya, politikus populis di banyak negara terus bermain dengan api dengan mendorong tren berbahaya ini," jelas dia.
"Mentalitas mendorong serangan keji terhadap Al-Quran di Eropa, dengan mengizinkannya di bawah kedok kebebasan berekspresi, pada dasarnya membuat masa depan (Eropa) buruk," jelas dia.
Kecaman serupa juga disampaikan Presiden Iran Ebrahim Raisi. Di mimbar PBB di New York, Raisi mengatakan, aksi pembakaran Al-Quran membuktikan bahwa Islamofobia nyata di Eropa.
"Api rasa tidak hormat tidak akan mengalahkan kebenaran Ilahi. Barat berupaya mengalihkan perhatian dengan alat kebebasan berpendapat," ujar Raisi.
"Islamofobia dan budaya aprtheid terjadi di negara Barat, yang dibuktikan dengan rangkaian penistaan Al-Quran dan pelarangan jilbab di sekolah, serta diskriminasi menyedihkan lain tidak pantas untuk martabat manusia," ucap Raisi.
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani pada Sidang Majelis Umum PBB menegaskan, kebebasan berpendapat tak boleh dipakai untuk dalih penistaan Al-Quran.
"Al-Quran terlalu suci untuk dinodai oleh orang-orang tidak berakal," jelas Sheikh Al Thani.
Sumber: kumparan