GELORA.CO - Jauh sebelum terjadi konflik peralihan lahan Pulau Rempang, Nahlatul Ulama (NU) telah mengharamkan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh negara.
Keputusan itu diambil dalam Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU pada 22-24 Desember 2021 lalu. “Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (pemberian) pemerintah atau ihya (menghidupkan/mengelola), maka pemerintah tidak boleh (haram) mengambil tanah tersebut, itu kutipannya,” ujar Abdul Ghofur Maimoen dalam pesan tertulis yang diterima oleh tvOnenews.com pada Rabu (20/9/2023).
Abdul Ghofur Maimoen adalah Ketua Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar NU ke-34 saat itu. Kesimpulan Hasil Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Pada Muktamar Ke-34 NU Soal Negara Mengambil Tanah Rakyat.
Pemerintah berhak dan berkewajiban menentukan kebijakan pengelolaan tanah negara. Dalam menjalankan haknya, pemerintah wajib memenuhi prinsip maslahat dan keadilan dan tidak melanggar konstitusi (UUD 1945).
Pelanggaran pemerintah terhadap konstitusi (UUD 1945) hukumnya haram. Terkait pemerintah mengambil tanah yang sudah ditempati rakyat ini hukumnya ditafshil:
a. Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (pemberian) pemerintah atau ihya (menghidupkan/mengelola), maka pemerintah tidak boleh (haram) mengambil tanah tersebut bahkan pemerintah wajib merekognisi dalam bentuk sertifikat, kecuali jika terbukti proses iqtha tidak memenuhi prinsip keadilan dan kemaslahatan.
b. Jika rakyat melakukan okupasi (menempati atau mengelola lahan negara secara ilegal) maka pemerintah dapat mengambil tanah tersebut, karena termasuk mengelola lahan yang sudah ada pemiliknya tanpa izin.
Namun pengambil-alihan lahan dimaksud harus dilakukan dengan cara yang baik (ma'ruf) tanpa menggunakan kekerasan.
c. Jika pemerintah sudah memberikan lahan kepada seseorang/korporasi dan lahan tersebut sudah di-ihya/dikelola tapi kemudian berhenti dan menjadi terbengkalai maka dalam hal ini pemerintah boleh mengambil kembali lahan tersebut dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan keadilan.
Dasar Keputusan Haram Petugas Saat Terlibat Kericuhan dengan Pengunjuk Rasa WargaPpulau Rempang, Senin,(11/9/2023)/ tim tvOnenews/Alboin Tanah yang tidak menjadi hak orang per orang atau korporasi masuk dalam kategori mawāt (tanah tak bertuan) yang penguasaan dan pengelolaannya menjadi hak dan tanggung jawab imam (pemerintah).
Dalam pengelolaannya imam harus berpijak pada prinsip maslahat dan keadilan. وَإِنَّمَا وَظِيفَةُ الْإِمَامِ الْقِسْمَةُ وَالْقِسْمَةُ لَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ بِالْعَدْلِ وَمِنْ الْعَدْلِ تَقْدِيمُ الْأَحْوَجِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَ مُتَسَاوِي الْحَاجَةِ “Tugas imam adalah mendistribusikan dengan berdasar asas keadilan.
Asas keadilan itu tergambar dengan memprioritaskan pihak yang lebih membutuhkan(Abu al-Hasan Taqiyyuddin Abd al-Kafi as-Subki, Fatawa as-Subki, [Bairut: Dar al Fikr] Juz 1 h.450) Di antara prinsip maslahat adalah pemberian mawāt tanpa melebihi batas kemampuan kelola.
Jika seseorang hanya mampu mengelola tanah seluas dua hektar, maka memberikan hak kelola lebih dari dua hektar termasuk pengelolaan yang tidak memenuhi prinsip maslahat. وَلَا يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُقْطِعَ مِنَ الْمَوَاتِ إِلَّا مَا قَدَرَ الْمُقْطَعُ عَلَى إِحْيَائِهِ؛ لِأَنَّ فِي إِقْطَاعِهِ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الْقَدْرِ تَضْيِيقاً عَلَى النَّاسِ فِي حَقٍّ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمْ ، مِمَّا لَا فَائِدَةَ فِيهِ،فَيَدْخُل بِهِ الضَّرَرُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ “Wajib bagi imam untuk mendistribusikan tanah mawat sesuai dengan kemampuan pihak penerima dalam mengelolanya.
Sebab, pemberian lahan yang melebihi batas kemampuannya dapat berakibat mempersempit pihak lain untuk memperoleh apa yang menjadi hak bersama di antara mereka termasuk hal yang tak berguna sehingga menyebabkan madlarat bagi kaum muslimin” (Wahbah az-zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [Bairut: Dar al-Fikr cet ke-12], Juz VI, h. 430) Adapun salah satu prinsip keadilan adalah memprioritaskan golongan lemah. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَائِلُ: مِنْهَا أَنَّ حَقًّا عَلَى الْوَالِي إقْطَاعُ مَنْ سَأَلَهُ الْقَطِيعَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ اللَّهَ لَا يُقَدِّسُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ لِلضَّعِيفِ فِيهِمْ حَقُّهُ» دَلَالَةٌ أَنَّ لِمَنْ سَأَلَهُ الْإِقْطَاعَ أَنْ يُؤْخَذَ لِلضَّعِيفِ فِيهِمْ حَقُّهُ وَغَيْرِهِ (Imam asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits ini terdapat beberapa dalil, antara lain bahwa wali (pemerintah) berhak memberikan lahan tertentu (iqtha`) untuk warga muslim yang memintanya, karena sabda beliau, “Sesungguhnya Allah tidak memuliakan suatu komunitas di mana yang lemah tidak mendapatkan haknya” menunjukkan bahwa orang yang meminta lahan garapan kepadanya itu harus diambilkan hak untuk orang yang lemah di antara mereka.” (Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, al-Umm, [Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1393 H], Juz IV h.50) Jika masih terdapat golongan lemah yang belum mendapatkan tanah, sementara golongan yang kuat sudah mendapatkan lebih, maka hal tersebut termasuk pengelolaan yang tidak adil.
Namun demikian bukan berarti imam atau pemerintah tidak memiliki hak menentukan kebijakan pengelolaan. Imam berhak menentukan apakah suatu tanah akan diberikan kepada rakyat atau diperuntukkan kepentingan lain.
Pengelolaan tanah negara pada masa kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin al-Khattab dan Utsman bin Affan menunjukkan bahwa imam memiliki hak dalam menentukan kebijakan pengelolaan. وَأَمَّا الاَئِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رضِيَ اللهُ عَنْهُمَا لَمْ يُقْطِعَا إِلَّا مَوَاتًا لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ مِلْكٌ، وَاصْطَفَى عُمَرُ رَضِيَ الله عَنْهُ مِنْ أَرْضِ السَّوَادِ أَمْوَالَ كِسْرَى وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَمَا هَرَبَ عَنْهُ أَرْبَابُهُ أَوْ هَلَكُوْا ، فَكَانَ يَبْلُغُ تِسْعَةَ آلَافِ أَلْفٍ فَكَانَ يَصْرِفُهَا فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلْم يُقْطِعْ شَيْئًا، ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَقْطَعَهَا لِأنَّهُ رَأَى إِقْطَاعَهَا أَوْفَى لِغُلَّتِهَا مِنْ تَعْطِيْلِهَا، وَشَرَطَ عَلَى مَنْ أَقْطَعَهَا أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ الْغِنَى “Mengenai kebijakan para imam-imam setelah Rasulullah Saw, Abu Bakar ra dan Umar ra membuat kebijakan tidak memberikan lahan kecuali tanah mawat yang tidak pernah dimiliki siapapun. Umar ra memilih tanah sawad (ardl as-sawad) milik Kisra dan keluarganya dan juga lahan yang ditinggalkan pemiliknya atau dirusak. Jumlahnya mencapai ukuran 9 juta.
Beliau mengelolanya untuk kemaslahatan kaum muslimin dan tidak memberikan sedikitpun kepada individu dari kaum muslimin. Kemudian datang Utsman ra membuat kebijakan baru dengan meng-iqtha` tanah-tanah tersebut karena ia melihat bahwa kebijakan meng-iqtha`-kannya (baik iqtha` tamlik atau ghairu tamlik, pent) akan lebih produktif daripada terbengkalai, dan ia menetapkan syarat adanya pungutan retribusi dari pihak yang diberi lahan.”. (Muhammad Najib al-Muthi’i, Takmilah dari al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad], Juz, Juz, XVI, h. 145.)
Bahkan imam berhak memprioritaskan seseorang untuk diberi dan tidak memberikan kepada orang lain, sebagaimana pemberian yang dilakukan Rasulullahṣalla Allah alayhi wa sallamkepada Zubair bin Awam. وفِى سُنَنِ أَبِى دَاوُدَ عنْ أَسْمآءَ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ الزُّبَيْرَ نَخْلًا) وَالْاَحَادِيْثُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِقْطَاعُ الْأَرَاضِي وَتَخْصِيْصُ بَعْضٍ دُوْنَ بَعْضٍ لِمَنْ يَأْنَسُ فِيْهِمْ الْقُدْرَةَ عَلَى الْقِيَامِ عَلَيْهَا وَإِحْيَائِهَا وَاسْتِنْبَاطِ مَنَافِعِهَا “Di dalam kitab Sunan Abu Dawud diriwayatkan dari Asma’ binti Abi bakr “Bahwa Rasulullah SAW memberikan kebun kepada Az Zubair bin Al Awam”. Berdasarkan beberapa hadits menunjukkan bahwa Nabi SAW dan para pemimpin setelahnya boleh membagi lahan kepada warga dan mendahululan pihak-pihak tertentu yang dipandang mampu mengurus, mengelola dan memanfaatkannya”. (Muhammad Najib al-Muthi’i, Takmilah dari al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz, Juz, XVI, h. 143.) Tetapi ketika imam telah menetapkan kebijakan tertentu terkait pengelolaan tanah dan berjanji akan melaksanakan kebijakan tersebut, maka imam harus menjalankannya, sepanjang kebijakan tersebut memenuhi prinsip maslahat dan keadilan. Muhammad Najib al-Muthi’i, Takmilah dari al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz, Juz, XVI, h. 143. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ مَا وَافَقَ الْحَقَّ مِنْ ذَلِكَ “Dari Khushaif, dari Atha` bin Abi Rabah, dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda, “Ourang-orang muslim harus melaksanakan perjanjian-perjanjiannya, selama itu sesuai kebenaran”. (HR. Ad-Daruqutni) Salah satu bentuk pengelolaan tanah negara adalah memberikan tanah kepada rakyat dalam bentuk hak kelola maupun hak milik.
Tanah negara yang telah diberikan imam kepada rakyat, dan rakyat telah mengelolanya sesuai dengan ketentuan, tidak dapat dicabut kembali oleh imam, dan karenanya imam harus memberikan pengakuan atas kepemilikan tersebut. «قَوْلُهُ وَإِنْ جَازَ لِلسُّلْطَانِ إلَخْ) أَيْ حَيْثُ أَقْطَعَ إرْفَاقًا فَأَمَّا إقْطَاعُ التَّمْلِيكِ فَيَمْتَنِعُ عَلَى الْإِمَامِ الرُّجُوعُ فِيهِ اهـ ع ش. (Jika imam boleh menarik lahan..) yakni memberikan hak kelola. Adapun jika memberikannya sebagai hak milik maka imam tidak bisa menariknya kembali”. (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj dalam Hawasyi Asy-Syaikh ‘Abd al-Hamid asy-Syarwani wa asy-Syaikh Ahmad bin Qasim al-‘Abadi, [Bairut: Dar al-Fikr], Juz, VI, h. 152. ) Petugas Terlibat Kericuhan dengan Ribuan Pengunjuk Rasa yang Merupakan Warga Pulau Rempang di Depan Kantor BP Batam, Senin (11/9/2023)/ ANTARA Sebagaimana kita tahu, konflik peralihan lahan Pulau Rempang masih terus bergulir.
Keputusan pemerintah untuk memasukkan Proyek Rempang Eco-City ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023 itu terus mengundang polemik.
Hingga saat ini, masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau masih menolak untuk direlokasi. Bahkan hingga beberapa waktu lalu terjadilah unjuk rasa yang berujung bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri.
Pemerintah Kota Batam melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam cuma punya waktu beberapa bulan untuk sosialisasi terkait proyek Rempang Eco City tersebut.
Sementara ribuan warga dijadwalkan harus sudah meninggalkan rumah mereka di Pulau Rempang per 28 September ini. Warga Pulau Rempang tidak terima, karena tenggat waktu pengosongan Pulau . Sementara tempat relokasi yang dijanjikan pemerintah juga belum siap huni.
Sumber: tvOne