Editorial: Tempo.co
BERULANGNYA serangan terhadap kebebasan berpendapat menunjukkan pemerintah tak serius dalam melindungi demokrasi. Apalagi jika serangan tersebut ditujukan pada kritik ataupun pendapat yang kontra pemerintah. Bukannya sejak awal memastikan tak akan ada serangan, pemerintah justru terkesan turut “menikmati” kejadian tersebut.
Insiden terbaru terjadi saat diskusi publik di Kapanewon di Sleman, Yogyakarta, pada Jumat, 9 September 2023. Sekelompok orang menolak kehadiran dua narasumber, Refly Harun dan Rocky Gerung, yang dikenal getol mengkritik pemerintah. Selain mengusir, massa juga mengintimidasi dan melemparkan botol air minum hingga mengenai Refly.
Tak adanya tindakan tegas polisi terhadap mereka menimbulkan syak wasangka. Jangan-jangan aparat keamanan meminjam tangan sekelompok orang untuk membubarkan diskusi. Atau, massa bergerak karena mendapat “restu” penguasa? Apa pun jawabannya, pembubaran diskusi menunjukkan sempitnya cara berpikir dan keengganan beradu gagasan. Jika tak setuju dengan suatu diskusi, bikin saja tandingannya, bukan malah melakukan kekerasan.
Karena berulang kali terjadi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa persekusi sudah menjadi cara penguasa untuk membungkam orang-orang yang kritis dan punya pandangan berbeda. Pelaku di lapangan bisa siapa saja: massa, aparat, atau siapa pun. Pada awal Mei 2023, acara diskusi pemutaran film dokumenter Dragon for Sale di Labuan Bajo didatangi polisi tak berseragam yang mengaku anggota Kepolisian Resor Manggarai Barat. Dua bulan sebelumnya, diskusi publik mengenai orang utan dan ekosistem Batang Toru di Tebet, Jakarta Selatan, diintimidasi empat orang tanpa alasan jelas.
Kejadian mencolok lainnya juga terjadi menjelang Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November tahun lalu. Diskusi internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Sanur dibubarkan orang-orang yang mengaku pecalang atau polisi adat. Ada pula pembubaran demonstrasi mahasiswa oleh polisi di sejumlah kota, termasuk penutupan kampus sebelum diskusi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana menjelang perhelatan tersebut.
Daftar kejadian itu belum termasuk berbagai pengusiran, intimidasi, dan pembubaran acara-acara akademik di lingkungan kampus yang marak beberapa tahun terakhir. Tak mengherankan jika sejumlah lembaga memberi ponten merah terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Data Riset tahunan The Varieties of Democracy Institute (V-Dem), lembaga pengkajian politik dan demokrasi global asal Swedia, menggambarkan indeks demokrasi Indonesia terus merosot sepanjang lima tahun terakhir. Bahkan, indeks demokrasi di Indonesia pada 2022 ada di bawah skor indeks 1999.
Kemudian, Indeks Demokrasi 2022 yang disusun The Economist Intelligence Unit (EIU) juga menyatakan indeks demokrasi Indonesia tak berubah dibanding pada 2021, yakni 6,71. Skor tersebut, berdasarkan pengkategorian EIU menempatkan Indonesia pada kelompok negara demokrasi yang cacat. Outlook demokrasi yang dirilis Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) menguatkan berbagai penilaian itu: adanya pelemahan masyarakat sipil secara sistematis yang diikuti pembatasan kebebasan berekspresi.
Penyebab utama hal tersebut adalah ulah pemerintah sendiri. Konstitusi telah menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak asasi setiap orang, namun pemerintah pula yang membuyarkannya. Misalnya, dengan mempertahankan pasal-pasal bermasalah seperti dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Bisa juga dengan membiarkan kelompok anti-demokrasi yang pro-pemerintah leluasa bergerak, lalu secara sengaja atau diam-diam mengambil manfaatnya.
Sungguh tak bermartabat jika penguasa menggunakan mereka sebagai kuasi demi membungkam kritik. (*)