Mencekam! Warga Rempang Bentrok dengan Aparat Gabungan, Dihujani Gas Air Mata dan Water Cannon

Mencekam! Warga Rempang Bentrok dengan Aparat Gabungan, Dihujani Gas Air Mata dan Water Cannon

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau terlibat bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, dan Badan Pengusahaan (BP) Batam Kamis (7/9/2023) pagi. Aparat gabungan memaksa masuk warga ke dalam kampung adat Pulau Rempang dengan menembakkan gas air mata dan water cannon.

Diketahui, polisi menerjunkan sekitar 1.000 personel untuk mengawal aktivitas pematokan dan pengukuran tanah di Pulau Rempang oleh BP Batam. Sementara itu, ribuan warga Rempang yang menolak pematokan tanah membentuk barikade di Jembatan 4, Pulau Rempang, Kota Batam.

“Aparat memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tata bata di Pulau Rempang,” ujar salah satu warga Rempang, Bobi, Kamis (7/9/2023).

Berdasarkan rekaman video yang diterima Channel9.id, bentrokan nampak mencekam karena warga yang menolak penggusuran melempari aparat dengan batu di tengah kepulan gas air mata dan semprotan water cannon. Aparat tiba bersama sejumlah kendaraan anti huru hara seperti watercanon, gas air mata dan kendaraan taktis lainnya.

Beberapa warga juga nampak terbujur di aspal saat ditangkap.

Bobi mengatakan, warga sampai saat ini masih menolak aktivitas apapun dari tim gabungan selama jaminan kampung mereka terjaga dari pengusuran belum dipastikan.

“Tim gabungan memaksa masuk, ini bentrok sudah terjadi, lima orang warga sudah dibawa ke polres,” ujarnya.

Sebagai informasi, konflik di Pulau Rempang ini bermula ketika Menteri Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional (BPN) melalui Surat Keputusan Nomor 9-VIII-1993 memberikan hak kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kini bernama BP Batam) untuk mengelola seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya dengan beberapa syarat.

Namun, BP Batam rupanya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan Menteri Agraria untuk mengelola lokasi tersebut. Salah satu syaratnya berbunyi “apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.” Hingga saat ini, syarat tersebut belum dipenuhi BP Batam.

Ketua Keramat, Gerisman Ahmad menyampaikan bahwa masyarakat Pulau Rempang seyogyanya terbuka dengan pengembangan Rempang Eco City. Tetapi, kata Gerisman, masyarakat menolak direlokasi akibat pembangunan ini karena harus meninggalkan tanah kelahiran yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Hal itu disampaikan Gerisman dalam konferensi pers “Pengusiran dan Intimidasi 6.840 Warga Pulau Rempang oleh BP Batam dan PT Makmur Elok Graha” di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). Tuntutan tersebut juga tercantum dalam Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Jokowi yang dilayangkan warga Pulau Rempang melalui surat Nomor 205/PPH/74/VIII/2023 tertanggal 22 Agustus 2023.

“Dari awal kami sudah menyatakan sikap bahwa kami tidak menolak investasi, kami siap menerima kedatangan PT MEG dalam hal membangun Pulau Rempang menjadi Rembang Eco City. Hanya kami minta kami tidak relokasi dan hak-hak kami terpenuhi secara adil,” kata Gerisman dalam kesempatan yang sama.

Ia mengatakan, masyarakat Pulau Rempang meminta perlindungan hukum kepada Presiden Jokowi dengan harapan suara-suara mereka dapat didengarkan. Sebab, kata Gerisman, masyarakat mengalami intimidasi dan kriminalisasi di saat belum adanya sosialisasi dari BP Batam atau pemerintah setempat terkait relokasi.

“Bapak Jokowi yang memang menjadi kebanggaan kami, kami harap ada campur tangan beliau dalam mengantisipasi ini. Karena yang kami takutkan terjadi keributan dan kerusuhan di Rempang,” Harap Gerisman.

Ia pun menegaskan masyarakat Pulau Rempang terbuka untuk berdialog bersama pemerintah dan pengembang. Terlebih, lanjutnya, masyarakat pada prinsipnya menerima pengembangan Rembang Eco City tersebut.

“Saya berharap ke depannya harus ada pertemuan tiga sisi, pemerintah, pengembang, masyarakat. Mari kita duduk bersama. Jika ini tidak dilakukan saya yakin persoalan ini tidak akan selesai,” tuturnya.

Sumber: channel9
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita