Oleh: Empie Ismail Massardi*
SBY tergopoh-gopoh sambut hp dari ajudannya.
Terdengar suara dari seberang, "Pak SBY.. kan sudah saya bilang.. Ojo kesusu.. Ojo grasah grusuh.. Jangan percaya pada orang itu. Jangan berikan dukungan. Cermati dulu karakternya. Karena orang itu akan melakukan apapun demi memenuhi ambisinya. Bahkan orang tua dan Tuhan pun bisa dijadikan jaminan atas sumpahnya. Tapi bapak malah salah paham... menyangka saya ingin halangi AHY maju."
"Iya pak... saya salah...!" jawab SBY lirih.
Suara di seberang kembali terdengar, "Sekarang saran saya begini, Pak SBY dukung dan menangkan saja Prabowo jadi Presiden seperti yang saya lakukan. Karena, hanya Prabowo satu satunya harapan saya dan bangsa ini ke depan menggantikan saya sebagai Presiden ke-8.
Kemudian... karena AHY belum pernah berada di pemerintahan maka, biarkan AHY belajar bagaimana jadi pemimpin yang baik dan cara mengelola pemerintahan kepada Pak Prabowo.
Karena, mengelola pemerintahan sekarang tidak sama seperti saat bapak jadi presiden. Segala sesuatunya kini serba cepat dan harus berani ambil keputusan. Berani melawan hegemoni Barat demi kepentingan rakyat kita.
Situasinya sudah berbeda jauh. Geopolitik memanas. Tidak bisa santai. Lengah sedikit kita ketinggalan dan menjadi negara dalam 'middle income trap'. Tidak akan bisa jadi negara maju dan bahkan bisa jadi negara gagal bila tidak bisa memanfaatkan bonus demografi kita pada 2030 - 2040 mendatang.
Jadi kita harus hati-hati.... Harus hati- hati!”
"Terima kasih Pak Presiden Jokowi! Saya mohon maaf selama ini telah salah memahami maksud baik dan tulus Bapak kepada kami.. terutama pada putra kami AHY...," ujar SBY penuh sesal.
Akhirnya, Pak Jokowi pun mengakhiri percakapannya dengan SBY. Dan SBY kemudian masuk ke ruang bacanya. Merenung menyesali langkah yang telah ditempuhnya dan telah menyalahpahami maksud baik Jokowi.
*) Penulis adalah pengamat spiritual