Benarkah Anies Pengkhianat, Hingga Darahnya Halal Ditumpahkan

Benarkah Anies Pengkhianat, Hingga Darahnya Halal Ditumpahkan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: H. Dheni Kurnia*

"ANIES RASYID BASWEDAN (ARB) dituduh sebagai pengkhianat. Dan seorang pengkhianat, halal darahnya untuk ditumpahkan."

Masya Allah. Segitunya ancaman buat Anies. "Ancaman" ini, secara terang-terangan disampaikan Ketua DPD Partai Demokrat (PD) Sumut, M Lokot Nasution, setelah dapat kabar ARB bermanuver dengan Cak Imin (Ketua PKB Muhaimin Iskandar) untuk maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden RI ke depan.

Lokot yang geram, diaminkan oleh keberangan yang lainnya. Tentu saja sesama partainya; Demokrat. Bahkan Ketua Majelis Tinggi PD, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengangguk-angguk balam saja mendengar ucapan yang berkonotasi "sadis" tersebut. Seolah membenarkan?

Lokot yang marah tingkat tinggi, kepada wartawan mengatakan, "Di negara ini masih boleh orang salah. Tapi kalau berkhianat darahnya halal ditumpahkan. Ingat itu, negara ini lama dijajah Belanda kerena banyaknya pengkhianat," tegas Lokot.

Ucapan Lokot ini, tentu beda dengan tindakan Said bin Harits Al-Makzhumi yang mendapat perintah dari Rasulullah SAW menumpahkan darah Abdullah bin Khaththal. Awalnya, nama Abdullah adalah Abdul Uzza. Setelah masuk Islam, nama itu diganti oleh Rasulullah.

Rasulullah SAW sangat sayang pada Abdullah. Karena itu, dia ditugaskan untuk memungut zakat. Satu ketika, Rasulullah mengutusnya sebagai petugas zakat ke salah satu daerah di luar Madinah. Bersama salah seorang sahabat Anshar, yang dulu pernah pula menjadi budak Abdullah Khaththal, mereka pun berangkat.

Dalam perjalanan tugas, mereka berhenti di suatu tempat. Kemudian dia menyuruh sahabatnya, menyembelih kambing dan memasak untuknya. Setelah itu, Abdullah bin Khaththal tertidur. Tapi ketika ia bangun, dia melihat mantan budaknya tidak menjalankan perintahnya. Dia jadi geram dan berang. Kemudian ia menghukum sahabatnya sampai mati atau melayang nyawanya.

Setelah kejadian itu, Abdullah keluar dari Islam atau murtad dan kembali menjadi musuh Islam. Dan, saat peristiwa Fathu Makkah (penaklukan Mekah), Abdullah bersembunyi di salah satu pojok Ka’bah. Disinilah dia ditemukan oleh Sa’id bin Harits Al-Makhzumi dan Abu Barzah Al-Aslami. Di situ pulalah berlaku hukum Qisas dan pengkhianatan. Setelah mendapat izin, Said bin Harits menebas leher Abdullah dengan pedang. Darah pun tumpah membasahi tanah!

Dalam epos drama "Macbeth" karya William Shakespeare yang ditulis sekitar enam abad lalu, seorang Raja Skotlandia bernama Duncan, dibunuh oleh jenderalnya sendiri yang bernama Macbeth, karena menginginkan tahtanya. Padahal Raja Duncan adalah koalisinya, sahabatnya, bahkan jiwanya sendiri, "Fair is foul, and foul is fair".

Macbeth membunuh sahabatnya, karena ambisi istrinya, Lady Macbeth, yang ingin dia menjadi raja dan istrinya menjadi Ratu Skotlandia. Mereka mengira bahwa satu-satunya jalan menuju tahta raja dan ratu adalah melalui pedang. Darahpun tumpah. Raja mati di dalam kamar kediaman Macbeth.

Anak kandung sang Raja, Macduff, tentu saja marah besar dengan pengkhianatan ini. Begitu juga Banquo (jenderal yang lainnya). Macduff pun bersumpah, bahwa pengkhianatan terhadap ayahandanya harus dibalas dengan darah Jenderal Macbeth. Sumpah Macduff itu, agak-agak mirip dengan "sumpah" Lokot Nasution di Medan yang menyebut, seorang pengkhianat, halal darahnya ditumpahkan.

Benarkah pengkhianatan yang dituduhkan pada ARB itu harus dibayar dengan ditumpahkannya darah?

Entah juga ya! Saya sendiri merasa, seperti buaya dan katak; Entah iya entah tidak. Karena negara ini negara hukum. Hukum pertumpahan darah sangat berat, apapun masalahnya. Bisa-bisa jatuhnya ke Anirat atau penganiayaan berat. Hukumnya paling tidak bisa lima tahun penjara. Apalagi yang dianiaya itu cacat seumur hidup atau malah meninggal dunia. Repot juga Lae Lokot.

Jika Said bin Harits menumpahkan darah Abdullah bin Khaththal dengan menebas kepalanya, ada aturan di hukum Islam yang menghalalkan tentang itu. Ini namanya Qisas. Yakni hukum berupa perlakuan sama terhadap pelaku sebagaimana ia melakukan tindakan tersebut kepada korban.

Juga, jika Macduff bersumpah akan membunuh dan menghalalkan darah Macbeth serta istrinya yang berkhianat, karena menikam ayahnya Raja Duncan, juga masih diterima akal. Karena itu terjadi enam ratus tahun yang lalu. Ayahnya dibunuh dan anaknya balas dendam. Kayak cerita-cerita silat di film gitulah.

Nah. Kalau Lokot Nasution nenghalalkan darah ARB, dengan cara apa atau bagaimana? Pakai pedang atau pakai pistol. Atau pakai pecahan botol limun. Gak tahu juga kita ya. Bisa jadi pakai tali plastik. Dijerat lehernya, lalu darah mengalir dari (maaf) seluruh lubang pori-porinya. Wah!

Sebenarnya, yang kayak-kayak gini sudah sering terjadi di dunia politik. Bahkan ada yang lebih spektakuler dari kasus ini, hanya untuk duduk di kursi presiden. Skandal "Watergate" misalnya. Tragedi politik yang paling dahsyat dalam sejarah Amerika Serikat (AS) pada Juni 1972.

Pertengahan Juni itu, lima pria ditangkap di Markas Besar Komite Nasional Demokrat di hotel dan kompleks perkantoran Watergate, Washington, setelah dua wartawan; Bob Woodward dan Carl Bernstein, mengungkap skandal mata-mata dan sabotase politik besar-besaran di Gedung Putih untuk mengupayakan Richard Nixon terpilih kembali Presiden Amerika.

Ternyata Nixon (Partai Republik) telah melakukan kecurangan, dengan mengumpul ratusan ribu dolar AS dari para relawan, untuk membiayai kampanye rahasia dan mengacaukan strategi lawan politiknya (Partai Demokrat) . Hal seperti ini, jelas dilarang dalam konstitusi Amerika. Kecurangan itu, tidak saja mengenai fakta korupsi Partai Republik dalam pengumpulan dana pemilihan, tapi juga terbongkarnya daftar rahasia Gedung Putih dari lawan-lawan politiknya melalui penyadapan telepon, fitnah yang disebarkan terhadap calon Presiden dari Partai Demokrat.

Walaupun Nixon terpilih kembali November 1972 jadi Presiden, mayoritas anggota Demokrat di Senat membentuk komite untuk menyelidiki kampanye Pemilu itu. Hasil pemeriksaan, April 1973, Jaksa Agung AS, Richard Kleindienst, dan dua ajudan presiden Nixon, yang diduga terlibat, mengundurkan diri.

Nixon pun akhirnya menyerah. Dia kemudian menyerahkan sembilan kaset pada 20 Oktober 1973, yang berisi percakapan antara Nixon dengan John Dean, ajudannya, tiga hari setelah pecahnya skandal Watergate. Pembicaraan itu, rata-rata tidak terdengar jelas. Akibatnya, Komite Kehakiman DPR AS memilih tiga alasan pemakzulan Nixon. Pertama menghalangi penyidikan FBI, kemudian menyalahgunakan kekuasaan, dan yang ketiga menghina Kongres. Untuk menghindari pemakzulan, Nixon lalu mengundurkan diri.

Nixon adalah presiden pertama AS yang mundur dari jabatannya. Dan pada 8 September 1974, pengganti Nixon, Gerald Ford, memberinya pengampunan total atas skandal Watergate. Untung tak ada darah yang ditumpahkan disini. Meski Partai Demokrat, meganggap Nixon dan partainya adalah pengkhianat, tapi akhirnya dia dimaafkan.

SBY dan Jokowi Juga Pernah

Sejarah mencatat dan sejumlah media juga hangat dalam pemberitaannya, bahwa SBY ayahnya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) pernah juga membuat manuver politik mengejutkan. Kala itu, Presiden Megawati Soekarnoputri, bertanya mengenai rencana keikutsertaan SBY (sedang menjabat Menkopolkam) apakah dia akan ikut dalam Pilpres 2004. Karena Megawati melihat elektabilitas SBY cukup bagus di mata masyarakat.

Kemudian Megawati, mengajak Menkopolkam-nya itu mendampinginya sebagai Cawapres. Tapi, menurut catatan seorang Pengamat Seni dan Politik, Darmawan Sepriyossa, SBY kala itu menolak. Dia menyebut bahwa dirinya tidak berminat atau ikut dalam kontestasi. Belakangan, semua orang Indonesia ternganga --termasuk Megawati-- karena SBY maju Pilpres 2004, melawan Megawati yang selama ini percaya saja SBY tidak akan maju. Hebatnya lagi, justru SBY yang terpilih jadi Presiden RI, padahal incumbent-nya adalah Megawati. Seperti terpegang bara hangatlah Mbak Ega.

Kata Darmawan, peristiwa itu jadi jurang dan terbuka lebar pada Februari 2021. Keluarga besar PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dibuat panas akibat tayangan ini. Saat itu melalui akun YouTube, mantan Sekjen Partai Demokrat, Marzuki Alie, bercerita bahwa pada 2004 SBY sempat mengajaknya bertemu di hotel. Di sana berlangsung obrolan soal ‘kecolongannya’ yang dialami Megawati.

Kata Marzuki, Pak SBY menyampaikan padanya, “Pak Marzuki, saya akan berpasangan dengan Pak JK (Jusuf Kalla). Ini Bu Mega akan kecolongan dua kali,” kata Marzuki, menirukan perkataan SBY. Dia menambahkan, kecolongan pertama, SBY pindah induk semang, kecolongan kedua, SBY ambil Pak JK. "Itu kalimat PK SBY,” kata Marzuki, seraya mempersilakan pernyataannya dikutip.

Lima tahun kemudian (2009), SBY kembali membuat manuver politik yang membuat koleganya kecewa. Kali ini wakilnya, Wapres Jusuf Kalla. Pasalnya, Kalla yang saat itu berpikir masih akan ‘dipakai’ ternyata ditinggalkan. "Prosesnya juga berlangsung diam-diam," tulis Darmawan.

DetikNews pada Kamis, 14 Mei 2009 menulis, SBY memilih Boediono sebagai Cawapres. Penetapan Boediono sempat menuai kecaman. Karena partai pendukung koalisi yang dibangun PD saat itu seperti PKS, PAN, serta PPP tidak diajak ikut berembuk. PAN saat itu bahkan sempat melayangkan protes, meski kemudian menyatakan memahami jua.

Situasi sempat tegang dan cukup memanas waktu itu. Menurut Pengamat Politik, Tjipta Lesmana, SBY seorang takabur dan sombong. “Langkah SBY yang diam-diam memilih Boediono sebagai Cawapres telah melecehkan partai koalisi pendukung. Tindakan itu merupakan sebuah kesombongan dan sikap takabur SBY. Karena SBY seolah-olah sudah menjadi presiden mendatang,” kata Tjipta.

Dia juga mengingatkan ucapan SBY yang secara terbuka pernah menyatakan lima kriteria Cawapres, salah satunya harus berasal dari partai politik. Nyatanya, SBY justru memilih Boediono yang tidak mewakili unsur Parpol. “Tindakan SBY tersebut bisa dikatakan inkonsisten. Ucapannya berbeda dengan perbuatannya,” sebut Tjipta.

Tetapi SBY kurang mendengar sejumlah kritikan yang diarahkan kepadanya. Bersama Boediono ia terpilih dengan suara meyakinkan, 73.874.562 suara atau 60,80 persen. Sementara pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79 persen, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meraih 15.081.814 suara atau 12,41 persen.

Darmawan Sepriyossa juga mencatat, lima tahun lalu, Maret 2018, SBY membuka alasan pemilihan JK dan Boediono di masa lalu. Menurut Presiden ke-6 itu, seorang Capres dalam memilih calon Cawapres harus melihat integritas, kapasitas, dan terutama kecocokan. Selain itu, yang perlu dicermati adalah peluang untuk menang. “Jangan keliru memilih pasangan yang salah, kemudian tidak berhasil. Itu yang saya jadikan patokan dulu,” kata SBY dalam video yang diunggah di akun Facebooknya.

Selain SBY, konon, seorang Presiden yang kini masih menjabat, Joko Widodo (Jokowi), pernah pula membuat masyarakat terperangah. Ketika itu yang kena "prank politik" adalah Menkopolkam saat ini, Mahfud MD. Menurut Mahfud kepada masyarakat luas tanpa malu-malu, dia dipanggil Presiden Jokowi, ditawari jadi Cawapres dan disuruh siap-siap untuk deklarasi.

Tentu saja kita tidak tahu apa yang berkecamuk di hati Mahfud MD, saat ditawari Presiden Jokowi sebagai Wakil Presiden. Setelahnya, kita juga gak paham apa isi hati Mahfud MD, ketika tersadar yang dipilih Jokowi sebagai Cawapres bukan dirinya. Tapi Ma'ruf Amin, yang jauh lebih sepuh darinya. Padahal baju putih untuk deklarasi, baru saja selesai dijahit.

Tapi meski SBY dan Jokowi pernah melakukan manuver politik, mirip kasus Anies Baswedan, gak ada yang bilang mereka pengkhianat dan darahnya halal ditumpahkan. Karena akhirnya, toh masyarakat menjadi faham sendiri bahwa kebenaran, kejujuran dan kesetiaan dalam politik itu, tidaklah ada. Kebenaran dalam politik, kata teman saya Mukidi, adalah kepentingan.

Kalau Surya Paloh (Nasdem) sebagai sponsor ARB merasa Cak Imin lebih menguntungkan disandingkan dengan Anies, untuk apa lagi pentingnya AHY (PD). Sebaliknya jika AHY merasa ARB tidak begitu penting untuk karirnya ke depan, ya sudah, banting stir ke arah lain. Selesai dan gak perlu ada kecam- mengecam, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah.

"Pertumpahan darah itu adanya di zaman Belanda. Jaman digital ini, yang ada like, share and comment," kata Mukidi.

Saya bukanlah pendukung fanatik ARB, Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Yang pasti saya akan menggunakan hak pilih saya pada Pilpres mendatang. Andai teman saya, Ustadz Abdul Somad (UAS) atau guru saya Ustazd Mustafa Umar (UMU) mau jadi Capres, saya akan memilih dia. Itu saja. Saya serahkan sepenuhnya kebijakan UAS dan UMU untuk memilih wakilnya.

Andai mereka tidak maju. Ya ndak apa-apa. Saya terpaksa memilih juga. Yang terbaik dari bewarna-warni pilihan. Ada yang suka menghajar meja, ada yang suka nonton film dan ada pula yang menjadi peramal cuaca; perubahan arah angin. Pokoknya saya ikut memilih. Meski ternyata nanti pilihan saya salah. Meski nanti ternyata pilihan saya tidak amanah dan suka menaikkan harga-harga. Pokoknya saya memilih. Mudah-mudahan saya gak salah mencucuk hidung atau kening di gambar Capres dan Cawapres

Gak perlu ada pertumpahan darah. Tak perlu memperdebatkan halal atau haram dan menyakiti seseorang. Meski Megawati mencabut Ganjar sebagai Capres karna pollingnya rendah, meski Golkar dan PAN menarik dukungan ke Prabowo, atau bahkan nanti Anies tak jadi berpasangan dengan Cak Imin, saya bersumpah tidak akan berdarah-darah. Karena PMI sudah kesulitan mencari pendonor darah. Salam! 


*) Penulis adalah wartawan senior, Karateka (Pemegang Sabuk Hitam Dan V), Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita