Benang Kusut Konflik Rempang, Pemkot Batam Perlu Telusuri Sejarah Hingga Lembaga Adat

Benang Kusut Konflik Rempang, Pemkot Batam Perlu Telusuri Sejarah Hingga Lembaga Adat

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Pembangunan proyek Rempang Eco City beberapa hari terakhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Hal itu dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terkait fakta-fakta yang belum terungkap ke publik, sehingga rentan beredarnya hoaks atau berita bohong berbau SARA.
 
Bahkan Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.





Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pertanahan, Dr. Tjahjo Arianto menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap, bukan tanah adat.
 
"Maka harus dibedakan, di situ, Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," kata Tjahjo kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/9).
 
Termasuk soal tanah ulayat atau adat, Tjahjo menjelaskan belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.

"Kalau aturan yang tegas belum ada, hakikatnya kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal di situ turun menurun,  itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan dicek kembali hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap. Ini tanggung jawab Walikota Batam," tegasnya.
 
Dia menambahkan bahwa tidak ada istilah tanah milik negara, adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara. Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah di bawah pengelolaan BP Batam. Ciri-cirinya, BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
 
"Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerja sama dengan investor,  maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam," jelas dia.
 
Tjahjo menyebut pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah. Menurutnya kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU.

"Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua di tempat lain," imbuhnya.
 
Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam. lanjut dia, harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.
 
Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden.

"Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian," jelasnya lagi.
 
Sementara itu, secara terpisah, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan, sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
 
Agus pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.
 
"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000-an, kemudian banyak yang mencari tanah di sana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," kata Agus di Jakarta, Senin (18/9).
 
Dia mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sekitar tahun 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.
 
"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal, dulu surat menyurat itu mereka nggak punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," ungkap dia.
 
Bahkan Agus menyebut, secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," tukasnya.
 
Masalah konflik agraria itu pun menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya pernyataan janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.
 
"Tadi saya lihat ada program, kalau presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," kata dia.
 
Sehingga, lanjutnya, ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya.
 
Agus juga menduga adanya konflik kepentingan di balik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang.  

"Ya pasti lah ada yang menunggang. Kalau soal politik, pasti ada kepentingan lain apalagi mau Pemilu," pungkasnya. 

Sumber: RMOL
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita