Oleh: Djono W Oesman*
MEGA Suryani, 24, sudah mati. Digorok suami, Nando Kusuma, 25, yang kini dibui polisi. Tinggallah dua anak laki mereka, usia 3,5 dan 1,5 tahun, saksi penggorokan. Dua bocah ini diasuh kakak Mega, Deden Suryana, 28, bersama istri dan nenek si bocah. Anak sekecil itu tak mengerti, bahwa mereka pedih.
“Ya Allah… berikanlah kekuatan kepada keponakan kami. Teduhkan hati mereka. Kami kewalahan, Ya Allah…” doa Deden saat diwawancarai wartawan, Selasa, 13 September 2023.
Diceritakan Deden, dua bocah itu ogah makan. Cuma minum. Sejak penggorokan leher Mega pada Kamis, 7 September 2023 pukul 23.00 WIB. Dan, mereka menyentuh, melumat, meremas-remas darah ibunda. Dalam tangis histeris mengiris hati.
Bila malam, dua bocah itu sulit tidur. Kadang merenung kadang menangis. Kalau pun tidur, mereka suka terjaga. Tergeragap membuka mata. Duduk. Lalu larut dalam tangis, sampai matahari terbit. Airmata mengalir seolah tidak habis-habis. Tak terkatakan, apa yang mereka tangiskan.
Deden: “Si sulung ngomongnya belum lancar. Omongannya terbatas. Tiga-empat kata. Tapi dari mata dan gerakannya, ia meremas-remas tangan, kami semua langsung nangis.”
Dilanjut: “Kami sekeluarga sedih. Kami sedih atas kematian adik saya yang begitu tragis. Lebih sedih lagi menjalani, merawat, menyayangi bocil-bocil ini. Sampai kami capek dalam kesedihan.”
Boleh disimpulkan, Deden dan keluarga mengalami sedih kuadrat. Sedih bertumpuk-tumpuk. Menggumpal. Yang, semua orang cuma bisa prihatin. Tanpa bisa merasakan betapa lara mereka.
Ada sekelumit pelipur lara. Relawan dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bekasi, bergantian menjenguk bocil-bocil itu. Mengajaknya bermain. Sekadar melupakan trauma.
Ada juga relawan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) bergantian menjenguk mereka. Mengajak menggambar dan bernyanyi.
Kalau menggambar, bocil-bocil itu mau. Tapi kalau menyanyi, mereka belum bisa. Lagi pula, lagu apa yang mau dinyanyikan? Dalam suasana batin seperti itu. Dalam suara parau tenggorokan kecil itu. Berkata pun mereka belum bisa, apalagi menyanyi.
Walau langit meledak, bumi berguncang, relawan-relawan itu sangat besar jasanya. Mereka bukan sembarangan. Mereka para ahli healing. Para sarjana psikologi. Mereka sekolah tinggi bukan bayar roti, bayar duit banyak.
Jadi, keluarga Deden tidak mampu membayar jasa mereka. Sebab, jasa mereka tak ternilai harganya. Sulit dikonversi dengan uang. Dalam masyarakat Jabodetabek yang materialistis ini. Apalagi, dalam kondisi keluarga berduka begitu.
Cuma Allah yang bisa mengalkulasi dengan akurat, jasa para relawan itu. Sekaligus pembalasannya.
Deden: “Alhamdulillah… kedatangan para relawan itu sangat-sangat membantu para keponakan kami. Bocil itu terhibur. Terlebih, membantu kami mengatasi kebingungan merawat bocil-bocil malang ini. Semoga para relawan diberkahi Allah.” Amin.
Tidak banyak yang tahu, apalagi berempati, terhadap dampak pembunuhan dalam anggota keluarga. Polisi, jaksa, hakim, fokus pada pasal-pasal hukum pidana. Sibuk dalam menyidik bukti-bukti hukum. Demi menegakkan keadilan.
Masyarakat cuma terkejut satu-dua hari. Viral dan heboh. Setelah itu semua orang terbenam, tenggelam. Larut teraduk dalam problem hidup masing-masing.
Sementara, keluarga korban menanggung dampak bertahun-tahun. Ibunda bocil-bocil itu tak pernah kembali. Dalam tragedi yang mereka saksikan sendiri.
Kondisi begitu bukan cuma di Indonesia, melainkan dunia. Ini tragedi universal. Pada semua manusia.
Dikutip dari Los Angeles Times terbitan 5 Oktober 1995. Pada judul yang sangat panjang:
“Shock Haunts Children Who See Parent’s Slaying : Violence: Study finds that, without help, up to 200 minors a year in L.A. alone can suffer post-traumatic stress syndrome”
Disebutkan: “Hukum Amerika berfokus pada bukti-bukti hukum pengambilan nyawa manusia. Bukan pada apa yang kemudian terjadi, setelah hilangnya nyawa seseorang,” kata Pynoos dan Eth dalam penelitian mereka.
Dilanjut: “Maka, proses pidana diarahkan untuk mengadili kesalahan atas pembunuhan tersebut, dan umumnya tidak memikirkan kerugian sangat besar yang diderita oleh anak tersebut.”
Yang berkata itu kepada Los Angeles Times adalah Prof Spencer Eth dan Prof Robert L. Pynoos. Dua kriminolog sangat terkenal Amerika pada saat artikel tersebut diterbitkan. Mereka penulis buku fenomenal, bertajuk Witness to Violence: The Child Interview (Mei 1986).
Buku kuno itu hasil riset mendalam. Sehingga masih dijadikan rujukan kriminolog sampai sekarang, spesialis untuk kasus seperti pembunuhan Mega Suryani oleh Nando Kusuma. Disebut Femicide.
Riset untuk buku itu dilakukan Eth dan Pynoos terhadap 55 anak, usia 3 hingga 17 tahun di Amerika tahun 1980-an. Riset itu dianggap para akademisi di sana sebagai yang terbesar dari jenisnya.
Eth dan Pynoos terkejut (waktu itu di sana) bahwa dampak kekerasan masih menjadi hal yang terabaikan. Bahkan, relatif jarang dilaporkan dalam bidang eksplorasi psikiatri.
Anak trauma menyaksikan orang tua meninggal secara mengenaskan, dapat memicu ketidakberdayaan luar biasa. Juga ingatan berkepanjangan akan momen-momen paling kejam, demikian temuan studi tersebut.
Gambar-gambar yang tak terhapuskan masih melekat, “seperti lemparan pisau atau ledakan senapan,” kata para penulis. “Atau gorokan leher, sehingga darah menyembur bagai pipa air yang terluka.”
Indra anak-anak disergap oleh “pemandangan, suara, bau mesiu tembakan, jeritan, atau keheningan tiba-tiba dari korban, semburan darah pada pakaian anak sendiri, genggaman orang tua yang sedang sekarat, dan sirine kedatangan polisi dan ambulans.” Semua itu meninggalkan bekas mendalam di alam bawah sadar anak.
Apa yang dialami anak-anak ini, waktu itu disetujui sebagian besar peneliti, adalah gejala klasik sindrom stres pasca-trauma. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Istilah psikologi-kriminologi ini muncul di saat buku Eth dan Pynoos terbit.
Tanpa bantuan terapis ahli, kata Eth dan Pynoos, anak-anak yang menyaksikan pembunuhan orang tuanya (apalagi pembunuhnya orang tua yang lain) lebih mungkin melanjutkan siklus kekerasan, bahkan mungkin kelak dewasa jadi pelaku. Atau menjadi korban pembunuhan.
Di antara responden, ada si kembar cewek (nama dirahasiakan) yang saat itu usia 15. Mereka mukim di San Gabriel Valley, California Selatan, Amerika Serikat. Mereka menyaksikan ayah membunuh ibu, ketika mereka usia 2,5 tahun. Di 1973.
Dikisahkan, mereka korban perceraian. Ayah-ibu cerai ketika mereka bayi. Lalu ibu menikah lagi. Ayah tiri mereka sering melakukan KDRT ke ibu (mereka tahu itu setelah remaja, dari membaca hasil persidangan).
Suatu siang yang cerah. Mereka sekeluarga hendak pergi liburan. Semua barang sudah dikemas di mobil. Si kembar sudah duduk di dalam mobil. Yang parkir di halaman depan. Menunggu. Ayah-ibu masih berbenah.
Tahu-tahu ayah-ibu bertengkar. Dari cekcok mulut berubah jadi baku pukul. Akibat baku pukul, ibu dibanting di halaman rumput. Seketika ayah masuk rumah lagi. Mengambil sesuatu. Ternyata pisau dapur. Mengkilat.
Si kembar cerita kepada The Times: “Mom merangkak di rumput menuju mobil, tepat ke arah kami di dalam mobil. Saya melihat dari kaca jendela, tapi belum mengerti maksud Daddy.”
Dad mendekati Mom. Dengan pisau terangkat ke udara. Lalu, dihujamkan ke tubuh Mom. Jerit kesakitan Mom, menyatu dengan jeritan dua bocah kembar itu.
Tak puas Daddy dengan tikaman itu, lalu ia memiting leher isterinya. Berakhir dengan menyembelih leher isteri. Sampai batang tenggorok putus.
Si Kembar: “Darah menyembur seperti pipa air yang pecah. Membasahi rumput hijau. Saya tahu Mom sangat kesakitan.”
Si kembar ingat, mereka berdua menangis, berteriak: “Mama-bebe, mama-bebe…” Salah satu dari kembar turun dari kursi mobil, ngumpet ke bawah jok. Kembar satu lagi keluar mobil, berlari ke sisi ibunda yang terbaring di rumput. Tapi ibu sudah tidak responsif.
Kembar: “Saya berdiri di sana, tepat di samping Mom. Saya memanggil namanya, dan dia tidak menjawab. Itu membuatku kesal. Ada darah di mana-mana.”
Mereka ingat merasakan pelukan tetangga yang menjemput mereka. Melihat lampu polisi dan kendaraan penyelamat yang berkerumun di lokasi kejadian. Juga mendengar polisi memerintahkan si pembunuh: “Jatuhkan pisau. Jatuhkan pisau…”
Kini (1986) si kembar sudah SMA. Mereka sibuk dengan tugas-tugas, dan populer di teman-teman. “Saya pikir kami tampil cukup bagus,” kata salah satu dari mereka.
“Saya masih mengalami mimpi buruk,” kata salah satu saudara kembar. “Saya masih memikirkan terus-menerus. Itu akan tetap bersamaku. Mungkin sampai aku mati.”
Cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang penggalan. Tapi si kembar mengingat cinta ibu pada mereka, sampai anak-anak itu mati.
*) Penulis adalah Wartawan Senior