Oleh: Djono W Oesman*
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas di tabligh akbar di Garut, Jabar, mengatakan: “Jangan pilih capres yang pernah pecah-belah umat.” Itu ditanggapi pengamat politik Burhanuddin Muhtadi: “Capres dimaksud adalah Anies Baswedan.” Suatu sentilan langsung. Apakah ini bisa dipolisikan?
Pemolisian (lapor-melapor polisi) sudah jamak, menjelang Pemilu. Rutin selalu begitu. Pernyataan dua tokoh di atas, bagai skenario “Umpan-smash”. Menag Yaqut memberi umpan, Burhanuddin smash.
Entah dua tokoh itu bekerja sama (sudah janjian sebelumnya) atau tidak. Walau kelihatannya mereka tidak bekerja sama. Setidaknya publik tahu, mereka tidak pernah tampak akrab. Tapi siapa tahu sebaliknya? Cuma mereka yang tahu.
Pastinya, taktik tektok itu memberi sepercik kilat, menghangatkan suasana jelang Pemilu 2024. Dan bagus. Supaya sedikit hangat. Belum sampai panas.
Karena, situasi kondisi politik terlalu tenang sekarang ini terasa kurang semarak. Kalau tidak ada lapor-melapor polisi jadi kurang seru.
Seandainya dipolisikan, siapa yang paling bisa dijadikan terlapor? Yaqut atau Burhanuddin? Terus, tuduhannya apa? Dugaan melanggar pasal yang mana?
Sebaliknya, kalau itu didiamkan, bukankah Anies Baswedan sudah dirugikan? Apalagi, kini Anies sedang gembira menyambut pasangannya, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Pun, seumpama itu tidak dipolisikan, serangan politik model serupa bisa datang lagi. Dari dan kepada siapa pun. Sebab, sudah ada contoh soal pernyataan dua tokoh tersebut yang (seumpama) tidak dipolisikan. Itu bisa jadi patokan buat para penyerang politik berikutnya.
Terlepas dipolisikan atau tidak, percikan Yaqut-Burhanuddin itu ibarat bumbu politik dalam situasi-kondisi sosial politik jelang Pemilu ini. Politik tanpa bumbu politik, ya… tidak semeriah pesta. Jika Pemilu disebut Pesta Demokrasi.
Kondisi tenang ini sudah disimpulkan Menko Polhukam, Mahfud MD pada tiga bulan silam. Tepatnya di acara Pengarahan Gerakan Literasi Digital di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, 13 Juni 2023.
Prof Mahfud di pidatonya di depan para prajurit TNI, berkata begini: "Tadi saya bicara pada Pak Panglima TNI. Situasi sekarang kondusif. Karena kan ini banyak orang. Konon katanya, ini akan ada perang. Ada ini-itu membuat panas? Saya bilang, ndak. Situasi tenang kondusif.”
Dilanjut: “Pemilu tahun 2019 yang begitu panas. Sangat panas. Itu sudah dimulai panasnya sejak tahun 2016. Pada 4 November 2016 ada yang mengepung Istana Negara. Kemudian disusul dengan gelombang-gelombang berikutnya, dengan konflik, pesan SARA, perang SARA, rasis, politik identitas dan berpuncak lahirnya 212. Lalu Pemilu 2019."
Itu pun, Pemilu 2019 aman terkendali. Jangankan perang, usai Pemilu kondisi masyarakat tenang stabil. Masing-masing orang kembali ke habitatnya lagi. Si pengusaha kembali berusaha. Tukang ojek, balik ngojek lagi. Kuli bangunan, mengaduk adonan semen lagi.
“Emangnya setelah nyoblos, trus langsung berubah kaya? Kagak ada…” ujar rakyat di warung-warung.
Coblosan (Pemilu) akan dilaksanakan 14 Februari 2024. Kurang lima bulan lagi. Kondisi tenang-sepi. Bandingkan dengan tiga tahun sebelum Pemilu 2019, seolah nyaris perang saudara. “Bagai langit dengan jurang,” ujar begawan media massa, Dahlan Iskan.
Maka, percikan duet Yaqut-Burhanuddin itu bagai bumbu politik. Ibarat bumbu, pun sekelas jahe. Pedasnya cuma sedikit menyenggol lidah. Bukan sekelas cabe yang menyengat.
Sebenarnya, bumbu politik yang kurang nendang itu, bukan karena bobot kualitasnya ringan. Tidak. Kualitasnya kelas berat. Indikator kelas berat ada dua: Pertama, pada kalimat “pernah pecah-belah umat”. Kedua, disebut Anies Baswedan.
Disebut kelas berat, sebab masyarakat tahu, bahwa kalimat Yaqut-Burhanuddin itu benar. Memang terjadi.
Dipertegas oleh Burhanuddin begini: "Pernyataan Pak Menteri tersebut tidak bisa dilepaskan dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika Anies Cagub DKI Jakarta. Masyarakat tahu, Anies memainkan politik identitas. Itu yang disebut Pak Menteri sebagai pemecah-belah umat.”
Sesungguhnya, diksi yang dipakai Burhanuddin sebagai ‘politik identitas’ itu sangat halus. Saking halusnya, sampai warga awam gagal paham. Alias bingung.
Terhadap istilah ‘politik identitas’. Yang cuma bisa dipahami sarjana ilmu politik, setidaknya sarjana strata satu. Yang jumlah sarjana strata satu (semua program studi) di Indonesia cuma 0,7 persen populasi.
Gampangnya adalah, memainkan kampanye politik menggunakan hal-hal terkait agama Islam. Sehingga disimpulkan Gus Yaqut sebagai 'pemecah-belah umat’.
Juga disimpulkan Prof Mahfud sebagai ‘sangat panas’. Tapi Umat Islam tidak sampai pecah, dalam arti perang saudara. Cuma pecah tipis-tipis, alias retak rambut. Di lapangan terjadi perang bacot: Cebong dan Kampret.
Kalau istilah ‘politik identitas’, adalah istilah internasional. Dipakai di Amerika Serikat pada 1970.
Howard J. Wiarda dalam bukunya berjudul “Political Culture, Political Science, and Identity Politics: An Uneasy Alliance” (2016) menyebutkan, istilah itu pertama kali dipakai di AS pada 1970.
Dipakai dan berkembang pada puncaknya 1977. Dipakai kelompok sosialis feminis kulit hitam di AS, Combahee River Collective, pada April 1977.
Howard J. Wiarda adalah Profesor Hubungan Internasional dan Kepala Pendiri Departemen Urusan Internasional di University of Georgia, AS. Bukunya itu hasil riset di AS.
Pernyataan Combahee River Collective, sangat terkenal di AS hingga kini. Pernyataan itu dalam kalimat panjang. Dikutip Prof Wiarda di buku tersebut, begini:
“Sebagai anak-anak, kami menyadari bahwa kami berbeda dari anak laki-laki dan bahwa kami diperlakukan berbeda. Misalnya, ketika kami disuruh untuk diam dalam waktu yang sama, baik demi menjadi 'anggun' maupun untuk membuat kami tidak terlalu keberatan di mata orang kulit putih.”
Dilanjut: “Dalam proses peningkatan kesadaran, yang sebenarnya adalah berbagi kehidupan. Kami mulai menyadari kesamaan pengalaman kami dan, dari berbagi dan menumbuhkan kesadaran, membangun sebuah politik yang akan mengubah hidup kami, dan mengakhiri penindasan yang kami alami.”
Intinya, warga kulit hitam AS berontak dari penindasan warga kulit putih. Dalam sejarah, warga kulit hitam di sana pernah jadi budak yang diperdagangkan warga kulit putih.
Maka, istilah ‘politik identitas’ awalnya muncul di AS sebagai upaya pemberontakan kaum kulit hitam terhadap penindasan warga kulit putih. Warga kulit hitam menggalang massa sesama warga kulit hitam, melawan warga kulit putih.
Tapi politik identitas di sana sudah selesai, jauh sebelum Barack Obama jadi Presiden AS, 2009. Obama simbol minoritas kulit hitam di AS yang jadi Presiden AS dua periode.
Jadi, dalam penggunaan asalnya, istilah ‘politik identitas’ digunakan oleh kelompok warga minoritas yang ditindas oleh warga mayoritas. Itu bersumber dari lahirnya kelompok rahasia warga kulit putih, Ku Klux Klan (KKK) di Pulaski, Tennessee, AS, 24 Desember 1865. KKK, asli, membantai ratusan ribu warga kulit hitam.
Maka, penggunaan istilah ‘politik identitas’ di Pilkada DKI Jakarta 2017, juga di kampanye Pemilu 2019, membingungkan. Bukan saja bagi warga awam, melainkan juga bagi pemerhati sejarah ilmu politik.
Tapi, sudahlah… itu cuma istilah. Yang penting orang paham, apa yang dimaksud Gus Yaqut dan Burhanuddin. Dan, pernyataan taktik tektok mereka, pastinya mengingatkan masyarakat tentang aneka peristiwa di Jakarta pada 2017 dan 2019. Itu merugikan Anies Baswedan.
Hebatnya, Yaqut tidak bisa dipolisikan, karena ia tidak menyebut nama orang yang diserang. Sedangkan, Burhanuddin juga tidak bisa dipolisikan, sebab ia cuma menafsirkan maksud kalimat Yaqut. Bukan Burhanuddin yang memulai.
Sebaliknya, Anies tidak bisa mempolisikan dua tokoh itu, sebab mereka tidak menghina. Juga bukan ujaran kebencian. Seandainya diarahkan ke tuduhan ‘kebohongan publik’, ya harus dibuktikan bahwa ucapan duo tokoh itu bohong.
Alhasil, percikan Yaqut-Burhanuddin tidak bakal menghangatkan situasi kondisi jelang Pemilu 2024. Sikon tetap aman terkendali. (*)